Kamis, 11 November 2010

ZAINAL SURIANTO WAU


Senandung Kematian

tak tertakar waktu ketika engkau berhasil menganyam langkah
menapaki jejalan kampung renta menyisakan jejak di pedalaman, keruh
di bawah langit kesumba tua yang telah selesai menyibak senja

hamparan huruf-huruf gersang dalam namamu
menenggelamkanku pada rindu pusaran tanah kelahiran
juga wajah yang kau kenakan setiap pagi datang
ronanya memancar menyepuh kaca-kaca jendela hatiku
mengusir sepi pada kemayu sapa dan lakumu

oo, mungkin saja kau mensketsa inginku di setiap lakon
mimpi-mimpi yang tak pernah selesai aku perankan sejak subuh tadi
hingga kau melabuhkan duka lewat siulan burung-burung
mencipta senandung kematian

kini waktu berhenti tepat semua musim bertemu
saat jerit dan tangis maut bernyanyi, mengalun
jauh menyelusup di kedalaman matamu

Kendari, Mei 2008
-buket duka yang terlupakan di 2004


Seuntai Doa Kutulis di Atas Telapak Tangan Mautku

mautku,
kini cemasku mulai terbit
karena engkau akan bertamu di rumah batinku
aku begitu gundah
wajah apa yang akan kusuguhkan esok padamu

sementara tanganku tak pernah lelah
adil membagi tasbih
sampah-sampah pikiran berserakan di otakku
menyerangku dengan mimik mereka yang tajam dan kotor
memaksaku bertengger di pertigaan malam

mautku,
mungkin aku hanya bisa menyeru kepada Tuhanku
pada deretan lafaz-lafaz ayat-Nya
bersimpuh memintal doa-doa
dan menuliskannya di atas telapak tanganmu
agar engkau tak kaget
saat bertamu di rumah batinku
esok hari

Kendari, Mei 2008



Tujuh Tanya

mengapa saat matanya belum cukup melihat dunia
kukukuku maut telah mencakar dan menusuk ususnya?
mengapa lafaz ayat-ayat kehidupan  yang hembuskan kedamaian
dan ketenangan belum dikumandangkan sudah dibungkam?
mengapa api-api unggun yang dinyalakan
untuk membaringkan bulu kuduknya dibasahi?
mengapa saat dia bergeliat dalam himpitan doa tak dihiraukan?
mengapa napas kemanusiaan tak dihadirkan lagi padanya?
mengapa rahim tempat melahirkan lipatan waktu ditutup rapat-rapat?
mengapa…….?

Kendari, Maret 2008



Segulung Kenangan
: Lohia

di sebuah tepi danau langka
kutinggalkan 360 jejak langkah pekat
juga tiga tangkai kamboja yang kusemat
di halaman, Lohia

begitu berat meninggalkan kenangan dari otak ini
ketika semak mulai tumbuh dan mengambil
sebagian ruang
hatiku
juga hidupku

mengapa alzheymer tidak menggerogotiku saja
biar aku bisa
terbebas dari penjara kenangan yang terus
mengurungku
tiap kali angin di selu kamboja
memuntahkan dinginnya

oo, inikah yang kau inginkan dariku, Lohia
bersenggama denganku
mencipta wangi mesum
menggulung cerita bersamamu

Kendari, Februari 2009



Tentang Pengemis Tua
: buat si kecil

subuh. enggan mempertegas diri
samar dalam kalut kabut sepi
tak jelas kapan dia pasti
kapan dia disibak senyum rekah matahari,
pagi.

seorang pengemis tua
berjibaku dengan rantang kumal putih,
kantong putih.
berkuasa atas langkah. arah. menjelajah
menjejaki jejalan rumah
tempat mencipta manusia beradab

tanpa alas duduk. dia mulai merakit harapan
doa.
pada kebaya rapuh mengumpan beri. minta
di balik cadar putih penutup mata
menanti bayang-bayang tangan pemenuh rantang

tak jelas wajah apa yang dia kenakan tiap pagi singgah
sedih. bahagia. jengkel
kalau tak seorang pun mengiba

di jeda waktu. terasing
dia hanya bisa menyeka bilur-bilur peluh
pada dahi keriput
menatap matahari dengan mata telanjang
membungkus ramah mimpi dan senyum
menanti esok balik. baik

Kendari,  Februari 2009


Untuk Sebuah Hari

tak kalian bacakah ingatanku
saat aku merengek dalam dendang fajar
subuh itu
dendang yang membuatku terperangah
bila mengingatnya

tak kalian tuliskah not-not bersejarah itu
dalam lembaran waktu
saat hitungan kalian sampai
pada ketukan keduapuluhdua

tak kalian gambarkah pose-pose kenanganku
di dinding-dinding bumi
agar kalian bisa
setiap saat melihat dan mengenangnya

sementara jauh di seberang ini
aku hanya bisa menyulap ribuan kelelawar
yang hijrah dari kelompoknya
menjadi komedi putar
hiburan di kala magrib singgah
saat aku menuju marun

00:01
begitulah malam ini berlalu
menatap esok
untuk sebuah hari

denting waktu itu terus menyulut gairahku
hidup menjembatani nasib
dan berarti

Kendari, 22 Mei 2008



Zheta

kau namai dirimu lukisan
jalan menuju mata hatiku

Kendari, Maret 2009


Pada Angguk Malam

kita pernah mengajak bulan bercinta
karena katamu dia membenihkan cinta kita
pada semaian tiga bintang pari
takdir para petani bertanam mimpi

Kendari, 17 Oktober 2009



Pada Sebab

tidak seperti pantai yang terus mematung ketika ombak memancing birahinya,
matamu meniduri retinaku yang sebentar lagi bunting di sungging malam.

Kendari, 17 Oktober 2009



Pada Setangkai Hati

mari kita mengantarkannya pada kosong saja
sebab katamu dia tak cukup utuh
membagi adil semua rasa

Kendari, 17 Oktober 2009



Secangkir Perasaan
: Dian

tanganku tak pernah segelisah ini
jari jemariku, Dian, terus bergetar
merajut awan-awan menjadi mendung
menambah list lanskap langit
yang kosong sejak kau sendiri

aku begitu marah
saat matahari dengan perkasanya
menyibak awan-awan yang kurajut
mencipta terang
datang tanpa bersalah
menjamah kulitmu
mencolek gunung-gunung yang sementara tidur
lembah-lembah sepi tanpa gema
menggelindingkan embun yang sedang asyik bermain di dedaunan
lalu memaksanya pecah ke tanah

rohku tak pernah segarang ini, Dian,
mencoba kuat
lari tanpa seizin penjaga badan
mengejar bayang-bayangmu

akhirnya aku tak bisa lagi
menahan badai dan gelombang bertalu dalam sukmaku
mengalunkan melodi cinta laut
berlirik angin
bernada sumbang desahan karang
datang menyambut tabuhan ricik sungai

lalu kubiarkan mereka bernyanyi
menghibur pepasiran yang berkumpul
menjadi daratan hati
di satu mata waktu

Kendari, Mei 2008



Negeriku Negeri Orang

langit hangus terbakar di nyala matahari
angin menerbangkan cuilan bunga alang-alang
dari suara-suara lantang
membawanya terbang melayang ke celah-celah awan

kabut-kabut tipis bersatu, berhembus dalam pekat dingin
menyusun batu-batu keadilan, membangun parit-parit kejujuran
di tepi kahinadinaan

sementara, ulat-ulat musim hujan
menggerit daun pepohonan, menghunus kehendaknya
ranting-ranting batang bergetah darah
mengelupaskan keperkasaan

mulut-mulut kecil penikam senyuman berseru :
wahai penguasa-penguasa bejat! keluarlah dari negeriku
sebelum kiamat kugempakan dalam dirimu

Kendari, Maret 2008



Antara Pasir dan Batu
: tentang sebuah nama

saat senyum membuat hari menjadi cerah
kududuk berayun di beranda rumah
menyaksikan pasir dan batu berkisah
bercerita tentang silsilah

sejurus keheningan berlalu
mereka menoleh padaku
menggamit tanganku yang gemetar dan kaku
memintaku menulis di salah satu

berbatas harapan
aku menimang-nimang pikiran kosong
menentukan pilihan
kepada siapa aku terkenang

kusingkirkan suara batin yang mengganggu
kuambil pisau
ku ukir kata di atas batu
tanpa memandang pasir itu
membiarkannya mendebu

Kendari, Maret 2008

Zainal Surianto Wau, lahir di Kondongia, Raha–Muna , Sulawesi Tenggara, 22 Mei 1988. Pria berhobi menulis cerpen dan puisi ini kini tengah menempuh pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Haluoleo Kendari. Saat ini dia tergabung dalam Komunitas Arus Kendari dan sedang bekerja sebagai staf redaksi Tabloid OASE (Pers Mahasiswa). Juara III Lomba Baca Puisi pada PESTA Unhalu 2008. Juara II Lomba Cipta Puisi pada PESTA UNHALU dan PEKAN SATRA 2010. Beberapa dari sajaknya dimuat pada Harian Kendari Pos, Tabloid OASE, Antologi Puisi Pagi yang Mendaki Langit (Mahasiswa Kelas Menulis Kreatif 2009) dan Antologi Puisi Bersama Dari Butuni Ke Jembatan Rindu (Komunitas Arus, 2008). Pos-el: zhay_nals@yahoo.co.id.

1 komentar: