Diamnya Maut
kau memanggil matahari
sedangkan waktu baru saja beringsut
melarutkan sunyi dalam malam-malam hampa
memenjarakan suara-suara yang kau cari
dalam diamnya maut
setelah satu nafas berhenti kau hela
Kendari, 17 April 2008
Rahasia Tentang Matahari
kudapati senja pupus di barat
lalu kutitip rahasia tentang matahari pada matamu
yang berkilat-kilat menatap lembayung merah pudar itu
kau harus menjaganya entah bagaimana
hingga sampai pada suatu malam
di mana bulan bersinar penuh
untuk kali keseribu
kupandangi sebentar wajahmu
ada geliat tak mengerti
”gadis, biarkan malam menjemputmu pada mimpi.
karena mimpi akan menerjemahkan isyarat ini,
menyelesaikan yang tak kuceritakan”
kau mengangguk saja
entah apa
ah, sudahlah
aku tak ingin lagi bicara
Kendari, 3-9 april 2008
Ini Tentang Ibuku
dari lesung pipinya yang samar
aku membaca lirik-lirik lagu cinta yang nyata
pada langit aku meminta pelangi
agar tak ada lagi hari kusam setelah hujan
tak kubiarkan potret wajahnya muram
karena cerita-cerita bohongku
ibu
temani aku lebih lama dari kemarin
kita akan
menghitung helai angin
yang menyapu bunga-bunga di halaman rumah
Kampus, 14 April 2008
Elegi Sebuah Rindu
Kawanku: Emma
dan matahari pun merenangi gerimis
kalau boleh biarkan kupaku pelangi
agar lekat di jendela kamarmu
kuterka kau akan tertawa
benar saja
lalu kurasakan nafasmu mengoyak lembaran angin
menguapkan berbutir luka kaku
mendung pun pecah menjadi rintik paling senyap
ada yang bergumam di bening matamu
mungkin tanya yang tak terucap
tentang adanya ilalang merunduk
dan terlepasnya rindu pada ibu
lengkung senyummu
selalu saja bulatkan bianglala paling sempurna
kalau boleh biarkan kupahat namamu
pada merah puncak pelangi yang rona
Kamar, 17 November 2008
Matahari Tak Pernah Sendiri
cahaya matahari menembus pepohonan
menceritakan kisah sedihnya, menerangi senja sendirian
angin berhembus menyapu rimbunnya dahan
daun-daun pun berguguran tanpa alasan
di antara waktu yang kian memburu
dan pekat yang semakin merapat
sejenak membisu
namun angin memaksa pepohonan untuk mengungkap sesuatu
riuh pepohonan yang diterpa angin pun berkata,
terimakasih untuk sinarmu kemarin dan hari ini, wahai matahari
senja kembali hening
sedang angin kembali mengembara dan berkeliling
memaksa gunung, pasir , dan rumput
untuk mengungkap hal yang sama
sejak itu senja terasa lebih indah
sejak itu matahari tahu, ia tak pernah sendirian
Sebuah Kata
waktu itu kita berselisih arah
kau ke selatan
dan aku ke utara
aku memanggilmu, ‘tuk beriringan denganku
tapi kau terlanjur berlalu
meninggalkan jejak di aspal yang berdebu
suaraku tercekat
aku tahu ajal kian mendekat
sedangkan aku belum sempat berucap
sebuah kata untuk kau kenang
aku berbalik arah, mengejarmu
namun kau telah menghilang
di persimpangan itu
ajal menjemput, aku terkesiap
kata itu belum sempat terucap
Sehampar Karang, Segulung Ombak
barangkali kau belum tahu
mereka tidak akan berkisah
bagaimana lautan memerah
dan bongkah-bongkah lukamu
yang semakin parah oleh waktu
mereka tidak mau tahu
ada apa kemarin
ketika kau mengeluh pada angin
yang merobohkan gubukmu
meniupkan pepasir
terhimpun di atas perih lukamu
barangkali kau belum tahu
mereka tidak akan bertanya
mengapa badai mengamuk di pantai saja
saat terik matahari menyala
mereka bahkan tertawa
melihat lukamu semakin ternganga
Kepada Ayah
sudahkah kau baca
satu sajak yang kuukir di mega-mega?
tengok satu kali saja
di sana ada narasi tentang kita
kuceritakan hujan menitik tanpa suara
mengikis bait sajakku satu-satu
kubiarkan angin membaca
meski sebenarnya dia buta
ayah
tengok satu kali saja
di sini ada narasi tentang kita
tak perlu lagi mendongak ke mega-mega
kali ini tatap mataku saja
Yang Gugur Dan Yang Tumbuh
yang gugur
kukremasi pada rongga bernama kebencian
pekat menguapkan rindu nan melepuh patah
mengabu bersama utas-utas tawa
entah siapa yang pernah memintalnya
sekaku dayung menggaris kedamaian arus
yang tumbuh
kuserahkan untuk mekar dalam doamu
meliuk tak acuh meski tercekik hembus nafas
para pendosa
yang gugur
likat berbaur debu-debu
yang tumbuh
riang berbalut siang
menunggu sepi menjahit malam
Kamar, 5 februari 2009
Sepotong Sajak
aku pernah melihat ketakutan
pada wajah sepotong sajak yang hendak kubakar
ditingkahi sendu bayangan bulan
tertatih tanpa tongkat pada tepi kusam sebuah kolam
kulengkapi deritanya dengan kisah cinta
yang tercebur comberan
Kendari, 17 februari 2009
Lelaki Kejora
lelakiku!
sepanjang lajur kesetiaan hari esok
sutra wajahmu tersemai
bersama rerimbun taman
mawar-mawar nanar, menemui kau
lebih tegar waktu mekar
seperti senyuman
garis tepi itu kukenal dari kedalaman obor matamu
tiba-tiba rekat di bibir malam
kala gelap mengendap
mengaburkan mimpi rerumputan
bulan menulis sajak tentang rasa bosan
lalu kubingkai deras matamu menatap aku
dalam detak jantung musim kemarau, degupnya
padam hujan berserakan
kata tak pernah cukup sesudahnya
kaulah sketsa,
lahir dari jejak pagi yang pupur
di kaca jendela
arsiran hitam putih menjelma
bebayang nyata seorang adam
merembes di nadiku
menciptakan labirin, selasar, dan trotoar,
tempat nalarku merambat, bersijingkat,
atau berlari
memburu siluetmu
kejora!
Kendari, 1 Maret 2009
Mekanika Lagu Pulang
— A.M.B.G.
lelaki
perlukah aku belajar dari kelopak bunga dilarung badai
sejenak bersitahan dengan lirih doa-doa yang hanya
diaminkan satu dua butir pasir
sungguh kau tahu betapa pun
kunikmati sisa hujan memperparah rindu,
juga kering meluruhkan daun-daun, atau rel-rel kereta
memuai sepanjang siang,
lelah ini terlanjur lelap meniduri lambungku
muak digenangi gairah pedih sesayat asa
hari ini aku melangkahi langit
menjawab panggilan lagu pulang
yang syairnya bahkan kueja dari kepak sayap izrail
sesempatnya kucuri hijau tundra dan sabana untukmu
sebagai latar tempat kenangan tentangku kelak kau lakonkan
kususuri juga mimpi-mimpi kita yang hanya tertambat di nakreus
kalau aku boleh meminta, lelaki
simpan saja ceritamu untuk esok
gemakan ia ke utara agar aku tak perlu merasakan sepi sejati
letakkanlah senyummu di bawah arak gemawan
mengiring perjalananku sesederhana azan subuh tadi
mungkin sebagai pengganti mawar yang kubenci durinya
sematkanlah belasungkawa dari puisi-puisimu yang paling kau hapal
pada nisan putih jadi pengganti wajahku
setelah ini hanya itu yang dapat kau usap
utas bayanganku segera mengirap ditawan gelap
Kendari, 8-9 Juli 2009
Pulanglah Ke Dalam Mataku
— L.M. Alhayun Kasim
bapak, pulanglah ke dalam mataku
sebelum magrib menumbuhkan gelap pada jalan-jalan setapak
yang kulalui dalam gendongan lalu tertidur di bahumu
di sana tergelar sejarah
semacam rengekan kanak-kanak, garis muda melekati wajah,
juga sumringah orang-orang dewasa
melirik aku melafal pancasila setengah terbata
adalah baju yang kelabu, topi yang sederhana, tetap setia mengawetkan
masa lalu
persis ketika kau menunggui aku di gerbang sekolah atau suatu sore kita menekuni dialog air laut dan koli-koli menyebrangi teluk kendari
ah, betapa deru mesin yang dikendalikan papalimbang terlampau senyap dibanding sorak gembiraku menghitung jumlah ombak,
meneriaki kawanan burung tengah istirah di tomba
kemarin aku tertegun mendapati tali pusarku tersimpan baik dalam lemari
mungkin telah menjelma artefak bagimu
sebab hadiah pertama dari bayi mungil hampir dua puluh tahun lalu
takkan pernah kau tukar dengan hening samudera
bapak, kaukah itu yang merentang tangan sepanjang garis edar matahari
menantiku melingkarkan sejengkal lengan anak kecil yang tak pernah cukup membelit pinggangmu
sungguh aku rindu jadi cengeng seperti waktu SD
agar dapat kubenamkan wajah pada penampang perutmu
sekedar menyembunyikan tangis ketika dimarahi mama
atau nilai matematikaku yang dapat merah
dan takdir pun berotasi di ragamu
sisakan rambut putih, gigi tanggal, kulit mengisut yang
belum memaksamu untuk tua
apalagi merangkai cita-cita sahaja
sedang kekeliruan memaknai april sebagai bulan ketiga
hanya setitik alamat bahwa kau mulai pelupa
aku masih menghidupkanmu sebagai lelaki pagi
mengajariku mendaki makna dongeng sebelum tidur
mengirim mimpi ke langit lewat layang-layang
juga merekat mozaik cerita dari lokan-lokan
yang kita pungut sepanjang bokori
sepanjang pulau hari
adakah kini waktu jadi terlampau mahal untuk kita bagi
sekedar menyeruput teh dari cangkir yang sama
atau memecah bisu perjalanan dalam angkot
bapak, pulanglah kedalam hatiku
sebelum gelap benar-benar meracuni langkah
demi rembulan yang menabur aroma malam
aku merindu kau merindukan aku
Kendari, 12 juli 2009
Karena Aku Tak Pulang
— Sahabatku La Ode Gusman Nasiru
ucapkan apa kabar untuk laut yang menghitam
untuk sari-sari aspal lekat merambati lekuk gelombangnya
pernahkah kau perhatikan betapa setia ia menjemput labuhmu?
selamat menjejak ranum tanah itu kembali
yang selalu mengurung kabhanti dan matahari pada dahan-dahan tua pohon asam, kamboja, cemara, juga rerumput halaman Baadia
adakah ia peduli lebat keningmu bau usia duapuluh?
siang ini, akumulasi cerita rindu tamat di Murhum
mungkin peneure di bawah jembatan
mengintipmu mengucap syukur penuh kaca
ah, lepaskanlah bersama kecewamu di situ
karena satu sajak tak jadi kita deklamasi di Kamali
aku tak pulang
sekedar mendongak ke bukit Wantiro atau
tersesat di los-los sempit Laelangi
maka sampaikan saja rinduku pada anak-anak angin
menderukan kenangan masa kecilmu dan kenangan masa remaja kita
o, mereka menumpahkan wangi ombak di otakku
jika kau sempat menyendiri
perhatikan bagaimana gemunung mencuatkan hijau
bagaimana sejarah menjelma cadas
Wolio-Sorawolio
atau Bungi-Betoambari
kekal dalam jarak
Kendari, 18 september 2009
Adha Malam
Sahabatku Gusman
Di Balai Kota
Hujan mengiring takbir ke tepi malam
Seorang gadis mengaminkan doa pucuk-pucuk kelapa
Di Kemaraya
Takbir melengkapi langit
Seorang Pemuda mengenang aroma ibu dan lapa-lapa buatannya
Kendari, 27 November 2009
Wa Ode Rizki Adi Putri lahir di Sodohoa, Kendari, 4 Desember 1989. Saat ini sedang menempuh pendidikan di S1 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara. Beralamat di Jln. Balaikota III No. 64 F, Kendari, Sulawesi Tenggara. Menyukai dunia kepenulisan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Minat menulisnya semakin terasah ketika mengenyam pendidikan mengah di SMA Negeri 4 Kendari. Menjadi redaksi buletin IQRA dan mengikuti lomba penulisan karya ilmiah remaja tingkat nasional tahun 2006. Puisi-puisinya dimuat dalam antologi bersama Pagi yang Mendaki Langit (Kelas Menulis Kreatif 2009) dan Dua Sisi Mata Cinta (Kumpulan Karya Pemenang dan Peserta Lomba Pekan Sastra Unhalu 2009), harian Kendari Pos, dan Tabloid Oase.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar