Rabu, 17 November 2010

GALIH

Insiden Merah Jambu
Galih
           
            Toni  dan Murdun adalah dua anak kecil. Keduanya sekelas dan sebangku. Setiap pulang sekolah selalu bersama-sama. Dan hari itu, seperti biasanya saat pulang sekolah, keduanya akan saling bercerita.
            Toni kemudian mulai bercerita tentang tetangga samping rumahnya, Pak Gendut pensiunan polisi yang baik hati. Tapi hari itu, Murdun agaknya sedang tidak tertarik pada cerita Toni, sudah terlalu sering Toni bercerita soal Pak Gendut itu, soal kebaikan-kebaikan hatinya, soal pemberian ini dan itu dan soal wajahnya yang mirip Sinter Clas. Saat Toni sedang bercerita, ia justru menanyakan mengapakah dalam setiap hari Jumat akhir-akhir ini ia jarang melihat Toni di masjid.
            Toni sedikit kecewa juga karena ceritanya terputus dan Toni yang selalu piawai bercerita selalupunya banyak alas an untuk itu. Katanya, Jumat kemarin ketika sedang mandi timbanya jatuh ke dalam sumur. Ia seharusnya segera ke masjid tapi karena takut dimarahi ibu, susah payaj ia mengambil timbanya lagi. Jumat kemarinnya lagi…
            “Masjid itu sudah jauh lebih bagus sekarang”, potong Murdun, “seperti masjid baru. Saya kira sekali kamu ke sana kamu akan betah dan seperti punya sepatu batu kamu akan bertambah rajin ke masjid”.
            Toni menoleh juga pada Murdun. Lanjut Murdun lagi, “temboknya telah dicat seluruhnya, plafonna telah diganti, mimbarnya sudah jauh lebih bagus”.
Toni berpikir-pikir mendengar itu, membayangkan kebaruan masjid itu.
“Ton, lantainya sudah ditehel. Wah, Jumat kemarin ramai benar masjid itu. Teman-teman pada hadir, kamu saja yang tak kulihat”.
Toni agak menyesal tampaknya karena tidak Jumatan dan cerita Murdun soal masjid itu terputus sampai di situ.
Sambil berbaring di tepi-tepi, kini keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sementara itu, ada anjing kurapan menyeberang jalan dan masuk ke dalam gang. Jauh di depan mereka ada penjual es pisang ijo sedang mendorong keretanya. Di atas, matahari mamancarkan cahayanya yang panas.
“Dun, apalagi yang baru di masjid itu”, bilang si Toni tiba-tiba.
Murdun berpikir-pikir, tidak ada tam[aknya. Tpi ia kemudian teringat kotak celengan masjid, suah terlalu tua, mungkin lebih bagus kalau digantidengan yang baru.
“Ton, mungkin kotak celengan masjid perlu diganti, sudah terlalu tua tampaknya. Kalau kamu Jumatan nanti cobalah kau amati, tua sekali. Saying yah, pengurus masjid tidak berpikir menggantinya.
“Ton, bilang Murdun lagi setelah terdiam sesaat lamanya, “Ayahmu ‘kan tukang kayu. Kuara ayahmu pasti mau membuat kotak celengan masjid”.
“Ayahku?” Toni menimbang-nimbang. “Dun, tapi bagaimana kalau sekiranya pengurus masjid memang tidak ingin mengganti kotak celengan masjid itu?”
“Ah pasti maulah. Gantinya kan lebih baru. Mintalah ayahmu membuatnya sebagus mungkin”.
‘Dun, saya tak berani. Ayahku akhir-akhir ini gampang marah-marah. Lagi pula ayahku sedang sibuk membuat banyak lemari”.
Keduanya terdiam lagi.
‘Naaaaaah Ton, kamu ‘kan akrab sama Pak Gendut itu. Tempo hari kamu bilang dia baik hati. Nah, kamu bilang saja sama dia soal kotak celengan masjid, siapa tahu dia mau bantu. Lagi pula menurutku, ayahmu akan menurut sama dia. Kamu ngerti kan maksudku?”
Toni mengangguk dan berpikir-pikir sekejap lalu menyatakan sepekat atas usulan Murdun. Tidak lama kemudian keduanya berpisah. Toni berbelok dan masuk ke dalam lorong, sedang Murdun yang rumahnya lebih jauh terus saja melangkah lurus ke depan.
Keesokan harinya, saat pulang sekolah, keduanya bersama-sama lagi.
“Ton, bagaimana dengan Pak Gendut?”
“Oh itu. Dun, Pak Gendut senang dengan niatan kita. Katanya, kalau sudah punya gantinya serahkan saja ke masjid. Pengurus masjid pasti senang menerimanya. Katanya lagi, kalau kita ragu-ragu, bilang saja kalau kotak celengan itu dari dia”.
‘Bagaimana dnegan ayahmu?”
“Itulah maslahnya Dun. Saya takut-takut juga minta tolong sama Pak Gendut agar menyuruh ayahku membuat kotak celengan masjid”.
Murdun sedikti kecewa tampaknya karena hal yang disampaikan Toni barusan. Keduanya lalu terdiam. Sementara itu, angin berhembus perlahan. Di tepi jalan, di dalam got ada tikus mandi comberan. Toni dan Murdun tidak peduli dengan itu. Dan jauh di depan mereka, ada gadis dipatuk lelaki.
“Dun, bilang Toni tiba-tiba. Dan sorot matanya penuh gairah, “bagaimana kalau kotak celengan saya saja?”
“Kamu punya?”
“Punya. Saya yakin punya saya lebih bagus dan lebih besar daripada kotak celengan masjid”.
Toni kemudian menceritakan bagaimana ia mendapatkan kotak celengan itu. Katanya, pada suatu sore yang kurang istimewa, setelah ia menimba air di sumur, pergilah ia ke rumah tetangganya. Lalu…
Panjang benar ceritanya dan Toni sangat piawai bercerita. Dalam kisah cerita si Toni itu, si Toni sempat melahap habis dua mangkuk bakso. Tiga mangkuk seharusnya tapi semangkuk lagi ia berikan pada seorang anak laki-laki yang kata si Toni mirip wajah Murdun. Murdun tersenyum juga mendengarnya.
Cerita Toni lagi, setelah melahap bakso, seorang yang tak dikenal tiba-tiba mengajaknya keliling kota mengendarai Harley Davidson. Lalu…

Murdun sangat mencermati dan menikmati cerita si Toni itu. Akhir secira si Toni itu ialah bahwa pengendara Harley Davidson itu ternyata adalah teman baik tetangganya yang wajahnya mirip Sinter Clas, Pak Gendut pensiunal polisi itu maksudnya. Nah, kata Pak Gendut, kalau ingin punya Harley, rajin-rajinlah menabung. Pak Gendut lantas menghadiahkan kotak celengan pada si Toni.
“Okelah, “kata si Toni lagi, “nanti Jumat besok kotak celengan itu kubawa ke masjid”.
Keduanya lalu berpisah. Toni berbelok dan masuk ke dalm lorong, sedang Murdun yang rumahnya labih jauh terus saja melangkah lurus ke depan.
Dalam perjalanan sendiri itu, ada kekhawatiran di hati Murdun. Hari Jumat dua hari lagi. Ia khawatir kalau-kalau besok saat pulang sekolah si Toni akan bercerita lagi soal kotak celengan itu. Barangkali mula-mula ia akan bercerita tentang petualangan seekor kuda yang pada akhir ceritanya kotak celengan itu rusak karena disepak kuda. Pandai benar si Toni itu bercerita, pikirnya.
Keesokan harinya saat pulang sekolah, si Toni berkisah lagi. Murdun khawatir mendengarnya. Tapi untunglah hal yang ia khawatirkan itu tidak terjadi. Sebelum berpisah, Murdun mengingatkan Toni besok hari Jumat, jangan lupa kotak celengan itu kau bawa ke masjid, katanya.
Tapi di hari Jumat itu, si Toni ternyata tidak dating ke sekolah. Murdun gelisah. Sepulang sekolah, Murdun hendak mampir ke rumah Toni tapi terpikir olehnya bahwa si Toni barangkali sengaja tidak masuk sekolah karena kotak celengan itu sesungguhnya tidak ada. Si Toni berdusta saja kemarin. Tentu si Tobi akan Jumatan lagi sebentar, pikirnya. Dan Murdun berpikir-pikir lebih baik melupakan saja soal kotak celengan itu.
Keesokan harinya barulah si Toni masuk sekolah lagi.
“Ton, kemarin kau tidak masuk sekolah, kenapa?” Murdun sengaja memancing Toni.
“Aduh, payah Dun. Kemarin itu saya bangun kesiangan. Tapi tak apalah, ayahku memaafkanku, sebab katanya kumimpi indah semalam”.
Berkerut jidat Murdun mendengar itu. Kalau berdusta, si Toni ini memang jagonya, pikirnya.
“Dun, “bilang si Toni lagi, “wah, masjid itu memang lebih bagus sekarang. Tapi Dun, di masjid itu kamu tak kulihat kemarin”.
Murdun terkesiap. “Ton, kamu Jumatan yah kemarin”.
“Iyalah. Kemarin itu saya datang lebih awal di masjid. Saya menunggumu tapi ternyata kamu tak datang-datang. Saya juga membawa kotak celengan itu.
“Sewaktu saya menyerahkan kotak celengan itu, wah… pengurus masjid pada terkejut. Tentu karena kotak saya celengan saya lebih besar dan lebih bagus. Dun, cobalah kau bayangkan, warnanya merah jambu. Tapi saya juga bilang bahwa kotak celengan itu dari Pak Gendut.
“Duh, “bilang lagi si Toni, “hanya saja ketika kotak celengan itu diedarkan, sempat kuperhatikan banyak jamaah yang cemberut, bahkan banyak yang tidak jadi bersedekah.”
Bagaiman mungkin banyak yang tidak jadi bersedekah, piker Murdun. Ah, pandai benar si Toni ini mengada-ada. Tidak, tidaklah juga kemarin itu ia ke masjid barangkali. Dan kalau Jumat depan kotak celengan merah jambu itu tidak ada di masjid, ia akan punya sekarung alas an untuk itu. Dan sekarang pastilah ia akan bercerita panjang lebar soal kotak amal celengan itu.
Dan benarlah yang diperkirakan Murdun. Cerita si Toni, awal-awalnya ia sangat rajin menabung karena ingin punya motor Harley. Anehnya, dari hari ke hari celengan itu bertambah gemuk. Tapi pada suatu ketika ia bangun dari tidurnya, jendela kamarnya sudah terbuka lebar.
“Dun siapa yang membukanya? Besar kemungkinan celengan itu melarikan diri di malam hari, pulang lagi pagi harinya tapi lupa menutup jendela.”
“Dun, “bilang si Toni lagi, “parahnya, celengan babiku kurus lagi. Isinya ludes semua. Sejak itu saya tak ingin menabung lagi.”
Ah, si Toni ini, gerutu Murdun di hatinya. Mana ada celengan babi yang melarikan diri. Tapi Murdun mendadak terkesiap. “Ton, celengan yang kau bawa ke masjid itu, celengan babi yah!”
“Ya, celengan babi sebesar anak babi.”
Pantas banyak jemaah yang tidak bersedekah, pikir Murdun. Ah, tapi benarkah ia ke masjid dengan celengan babinya?
Bilang si Toni lagi, “Dun, soal celengan yang melarikan diri itu kuceritakan pada ayahku. Ayahku tertawa dan kelihatannya ia percaya. Dia bilang padaku bahwa kemungkinan besar celengan babiku melarikan diri ke rumah tuannya, sahabatku Pak Gendut itu, maksudnya.
Ah, si Toni ini, pandai benar ia bercerita, piker Murdun. Dan Murdun kurang percaya sesungguhnya akan cerita si Toni barusan, tapi wajah Toni tampaklah memilukan.
Bilang si Toni lagi, “sempat pula kutanyakan pada Pak Gendut soal celengan babiku.” Si Toni lantas menoleh pada Murdun, raut wajahnya sangat serius. “Dun, Pak Gendut marah-marah dan dia bilang, apakah kau melihat jejak kakinya di muka rumahku?”
Ah, si Toni, piker Murdun, pandai benar ia bercerita. Mana mungkin Pak Gendut bilang begitu. Mana mungkin ia percaya celengan babi bisa begitu.
Tapi raut wajah si Toni tampaklah memilukan. Ada juga kekecewaan terpancar di wajahnya. Ah, Murdun penasaran.
‘Ton, benarkah yang kau ceritkan barusan ini?”
“Ah, Dun, sahut si Toni. Ternyata kamu ini teman yang payah, tidak pernah percaya saya.”

Alolama, Kendari, 9 Juli 2010

Galih lahir di Kendari, 12 Mei. Bergabung dengan Teater Sendiri sejak tahun 1999. Cerpen-cerpennya dimuat di Majalah Horison, Majalah Gong, serta dimuat pada beberapa antologi cerpen, antara lain, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia di Bangka Belitung, 2009, Jalan Menikung ke Bukit Timah. Tahun 2004 bergabung dengan Bengkel Teater Rendra (BTR) dan ikut bermain pada lakon Sobrat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar