Rabu, 10 November 2010

SENDRI YAKTI


Musa di Babak Terakhir
PAT

cuaca mendung, radio mengalirkan blues yang getas
mata rusuh, sedu yang mengaduh
setelah nil mengaramkan perih dan lirh
tanpa firaun, kau menjadi musa di babak ini
kau tak perlu berlari dan pergi
kau bisa masuk dari pintu manapun di tubuhku
memajang mimpi dan berlusin ilusi

sambil membaca rajah tanganmu
kubiarkan detak bergerak sungsang
dan ke matamu
kukirim sunyi sepekat kopi

 mungkin badai akan menghalau suara
ke bukit, ke nadi sungai, ke palka laut
tapi akan kunyanyikan berlembar igau dari teralimu
puisi, atau mantera, atau ayatayat
membakar linting terakhir di bibirmu
lalu menggiring matahari,
ke tabutmu

Isyarat Perpisahan

selalunya aku mengenang malam itu
rintik hujan di kotamu yang senyap
sesuatu yang tak selesai kutulis
dalam buku daun yang mungkin sudah berhenti kau baca
catatan penuh gambar dan puisi tak berarah tentang kita
kenangan seperti cermin retak di bawah lampu
memantul melarikan pecahan wajah ke arah angin
kita bahkan lupa wajah sendiri
hanya mereka-reka, seberapa kelam mata
seberapa murung bibir
sungguh, aku ingin membujuk tiap gerimis
menculikmu dari rumah sepi
tapi tetesnya seperti es batu
menghablur
mengisyaratkan gigil perpisahan

sesuatu yang belum siap kueja

 
Monogram dalam Kolam

sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu

padahal aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku

tapi kau panahbelah matahari
menggeligis pecah ke araharah
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut

telah lama kau dedah larung di kolam
menenggelamkan monogram yang berlepasan


Teman Lama

di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergantung dorna dan yudistira

di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung benih dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paruparu

di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa
mungkin kita tak butuh apologi
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul

 
A Simple Think For My Special Friend

hidup,
kukenang kukenang
sampai air mata menggenang
kurenang kurenang
sampai jari maut menjelang

selamat mengulang airmata bahagia yang menggenang di pipi ibumu
selamat mengulang azan yang dikumandangkan ayahmu di telinga
selamat menyongsong matahari saudaraku
hiduplah dengan rupawan

Pernikahan

di gang gang kota
janur berlomba menggantungi sya’ban
menyimpul rupa-rupa adat
dalam mufakat tentang mahar

di cermin
wajah digurat resah yang sekarat
menunggu gong
menunggu gendang
isyarat berijab

tetua berarak
mengantar adam menemu hawa
di arafah, di lamin, di cinta
berijab
berkabul

“telah kuterima,
segenap asin manismu,
sebagaimana kau terima
wangi dan kecutku”
tubuh berpeluh dan rikuh
melepas raut, kecup, dan masa lalu
seperti nenek moyang menanggalkan perjaka
pada derit ranjang tengah malam

ini aku
cinta
bukan lagi sayup-sayup alu
tapi degup yang berburu

Paragraf Terakhir

kekasih, sedang kuhapus musim musim yang memanen rindu
juga patah, juga luka yang kecut. duhai, attar yang menahta matahari,
nuh yang melayari surga, aku hilang sayap dan sirip.
tak teramini pintapinta. sekeranjang debar,
sekeranjang gelisah, menggauh tak putusputus.
di sana, tlah kau buka hijab, dan menemukan malaikat di sepasang keningnya.


Run My Love, Run!

sebelum pergi,
biar kurapikan kerah bajumu
dan menyinggahkan kecupan di jejarimu

mulailah melangkah bang,
di kota ini,
hujan terlalu menggigilkan
kemarau teramat meranggaskan
jangan sampai terlindas cuaca
berjalanlah

sesampaimu di kantor
tersenyumlah abangku
pada berkas-berkas, pada telepon yang tidak pernah diam
pada amarah, atau pada waktu yang berburu
aku selalu yakin pada kesabaranmu
harimu akan selalu cerah

jangan lupa istirahat,
makanlah seperti sunnah rasulullah
(sayangnya aku tak pernah sempat membuatkan makan siang untukmu)
hanya doa yang tak putus-putus
mengaliri udara menujumu

jika waktu pulang telah tiba,
bergegaslah bang,
aku kuatir gelap akan membuatmu tersesat
ah, mungkin terlalu berlebihan
bukankah kau bilang, aku adalah bintang paling terang.
dengan cahayaku,
kau tak mungkin kehilangan arah

jadi,
berlarilah abangku,
berlarilah pulang

Pertunangan

kekasih,
lima belas bulan malam di langit
telah kau kirim bunga dan malaikat
meruahkan wangi di selasar dada
mengamini asa yang sembunyi di ubunubun

hingga cinta,
menjadi begitu mawar

di ambang pintu,
seribu kali kuanggukkan kepala

kekasih,
ada kupukupu di jari manisku


Menafsir Cuaca

kau bergegas pergi,
sebelum aku selesai membuat tafsiran tentang langit
ah, cuaca mendadak susah terbaca
tibatiba hujan, tibatiba kemarau
katamu,
“berhentilah meraba cuaca,
jika hujan, berbasah-basahlah
jika panas, berkeringat-keringatlah”

sejauh mana kau berlari?
ketika hujan mengurungmu tanpa ampun
(sempatkah kau lihat payung yang kuselipkan di tas kerjamu)
atau kau memilih berbasah-basahan
berlarian di antara gang-gang becek
juga petir yang gemetar
selebar apa langkahmu?
ketika matahari membakar ujung-ujung rambutmu
(ada saputangan yang kulipat rapi di sakumu)
apa kau tetap tengadah dengan gagah

ah,
kau mungkin telah sampai di tujuan
dan aku tak kunjung usai menafsir cuaca



Idul Adha Odeku

hari raya ini,
aku ingin mencium punggung tanganmu lebih dalam dan lama
mengecup kedua pipimu yang tirus dan mulai kehilangan sinar
mencari bulat mata juga lentik hidungku di wajahmu
sesuatu yang membuat kita begitu tak terelakkan

duhai odeku
akulah kalambemu
yang kerap kau basuh ubun-ubunnya dengan wudhu tahajjudmu
sebelum kau genangi sajadah dengan airmatamu
akulah kalambemu
yang tak pernah lunas membayar doamu
hanya bisa membelikan kopiah dan sajadah baru untuk hari raya

duhai odeku
nyanyikan aku kabanti
lafazkan aku zikir
lalu biarkan aku tenggelam
dalam rintik-rintik matamu


Jamuan Pernikahan

malamberwarna, milau manik yang di timpa lelampu
adam menggandeng hawa
ke lamin yang sesak tatap atau mungkin ratap
melebarkan senyum dan sayap
merangkuli doa yang deras mengalir

barangkali ada lirih yang terselip
seseorang yang sedang mengenang rindu
menagih janji, atau menggigiti jari kuku

percakapan yang bising
lelucon yang garing

setetes air mata
lesap ke dalam sup

 
Teman Lama

di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergantung dorna dan yudistira

di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung benih dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paruparu

di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa
mungkin kita tak butuh apologi
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul


Setelah Apimu Membakar

setelah apimu membakar hatiku
haruskah kutandai pertemanan kita dengan silang dan tinta merah?
atau
kupadamkan hatiku dengan air mata
dan melingkari almanak dengan bunga 



SENDRI YAKTI lahir  di Kendari, 9 September 1980. Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari hingga sekarang. Bersama Teater Sendiri pentasdi Jakarta, Banjarmasin, Subaraya, Mataram, Bali, Palu, dan Makassar. Puisinya dimuat di Majalah Gong, diantologikan pada buku puisi Sendiri, Sendiri 2, dan Sendiri 3  (Teater Sendiri) serta antologi puisi Perempuan Penyair Indonesia (KSI-Risalah Badai). Tahun 2005 pentas monolog Bulan yang ditulisnya sendiri pada acara Perempuan di Panggung Teater, TIM.


1 komentar: