Musa di Babak Terakhir
PAT
cuaca mendung, radio mengalirkan blues yang getas
mata rusuh, sedu yang mengaduh
setelah nil mengaramkan perih dan lirh
tanpa firaun, kau menjadi musa di babak ini
kau tak perlu berlari dan pergi
kau bisa masuk dari pintu manapun di tubuhku
memajang mimpi dan berlusin ilusi
sambil membaca rajah tanganmu
kubiarkan detak bergerak sungsang
dan ke matamu
kukirim sunyi sepekat kopi
mungkin badai akan menghalau suara
ke bukit, ke nadi sungai, ke palka laut
tapi akan kunyanyikan berlembar igau dari teralimu
puisi, atau mantera, atau ayatayat
membakar linting terakhir di bibirmu
lalu menggiring matahari,
ke tabutmu
Isyarat Perpisahan
selalunya aku mengenang malam itu
rintik hujan di kotamu yang senyap
sesuatu yang tak selesai kutulis
dalam buku daun yang mungkin sudah berhenti kau baca
catatan penuh gambar dan puisi tak berarah tentang kita
kenangan seperti cermin retak di bawah lampu
memantul melarikan pecahan wajah ke arah angin
kita bahkan lupa wajah sendiri
hanya mereka-reka, seberapa kelam mata
seberapa murung bibir
sungguh, aku ingin membujuk tiap gerimis
menculikmu dari rumah sepi
tapi tetesnya seperti es batu
menghablur
mengisyaratkan gigil perpisahan
sesuatu yang belum siap kueja
Monogram dalam Kolam
sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu
padahal aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku
tapi kau panahbelah matahari
menggeligis pecah ke araharah
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut
telah lama kau dedah larung di kolam
menenggelamkan monogram yang berlepasan
Teman Lama
di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergantung dorna dan yudistira
di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung benih dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paruparu
di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa
mungkin kita tak butuh apologi
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul
A Simple Think For My Special Friend
hidup,
kukenang kukenang
sampai air mata menggenang
kurenang kurenang
sampai jari maut menjelang
selamat mengulang airmata bahagia yang menggenang di pipi ibumu
selamat mengulang azan yang dikumandangkan ayahmu di telinga
selamat menyongsong matahari saudaraku
hiduplah dengan rupawan
di gang gang kota
janur berlomba menggantungi sya’ban
menyimpul rupa-rupa adat
dalam mufakat tentang mahar
di cermin
wajah digurat resah yang sekarat
menunggu gong
menunggu gendang
isyarat berijab
tetua berarak
mengantar adam menemu hawa
di arafah, di lamin, di cinta
berijab
berkabul
“telah kuterima,
segenap asin manismu,
sebagaimana kau terima
wangi dan kecutku”
tubuh berpeluh dan rikuh
melepas raut, kecup, dan masa lalu
seperti nenek moyang menanggalkan perjaka
pada derit ranjang tengah malam
ini aku
cinta
bukan lagi sayup-sayup alu
tapi degup yang berburu
Paragraf Terakhir
kekasih, sedang kuhapus musim musim yang memanen rindu
juga patah, juga luka yang kecut. duhai, attar yang menahta matahari,
nuh yang melayari surga, aku hilang sayap dan sirip.
tak teramini pintapinta. sekeranjang debar,
sekeranjang gelisah, menggauh tak putusputus.
di sana, tlah kau buka hijab, dan menemukan malaikat di sepasang keningnya.
Run My Love, Run!
sebelum pergi,
biar kurapikan kerah bajumu
dan menyinggahkan kecupan di jejarimu
mulailah melangkah bang,
di kota ini,
hujan terlalu menggigilkan
kemarau teramat meranggaskan
jangan sampai terlindas cuaca
berjalanlah
sesampaimu di kantor
tersenyumlah abangku
pada berkas-berkas, pada telepon yang tidak pernah diam
pada amarah, atau pada waktu yang berburu
aku selalu yakin pada kesabaranmu
harimu akan selalu cerah
jangan lupa istirahat,
makanlah seperti sunnah rasulullah
(sayangnya aku tak pernah sempat membuatkan makan siang untukmu)
hanya doa yang tak putus-putus
mengaliri udara menujumu
jika waktu pulang telah tiba,
bergegaslah bang,
aku kuatir gelap akan membuatmu tersesat
ah, mungkin terlalu berlebihan
bukankah kau bilang, aku adalah bintang paling terang.
dengan cahayaku,
kau tak mungkin kehilangan arah
jadi,
berlarilah abangku,
berlarilah pulang
Pertunangan
kekasih,
lima belas bulan malam di langit
telah kau kirim bunga dan malaikat
meruahkan wangi di selasar dada
mengamini asa yang sembunyi di ubunubun
hingga cinta,
menjadi begitu mawar
di ambang pintu,
seribu kali kuanggukkan kepala
kekasih,
ada kupukupu di jari manisku
Menafsir Cuaca
kau bergegas pergi,
sebelum aku selesai membuat tafsiran tentang langit
ah, cuaca mendadak susah terbaca
tibatiba hujan, tibatiba kemarau
katamu,
“berhentilah meraba cuaca,
jika hujan, berbasah-basahlah
jika panas, berkeringat-keringatlah”
sejauh mana kau berlari?
ketika hujan mengurungmu tanpa ampun
(sempatkah kau lihat payung yang kuselipkan di tas kerjamu)
atau kau memilih berbasah-basahan
berlarian di antara gang-gang becek
juga petir yang gemetar
selebar apa langkahmu?
ketika matahari membakar ujung-ujung rambutmu
(ada saputangan yang kulipat rapi di sakumu)
apa kau tetap tengadah dengan gagah
ah,
kau mungkin telah sampai di tujuan
dan aku tak kunjung usai menafsir cuaca
kekasih,
lima belas bulan malam di langit
telah kau kirim bunga dan malaikat
meruahkan wangi di selasar dada
mengamini asa yang sembunyi di ubunubun
hingga cinta,
menjadi begitu mawar
di ambang pintu,
seribu kali kuanggukkan kepala
kekasih,
ada kupukupu di jari manisku
Menafsir Cuaca
kau bergegas pergi,
sebelum aku selesai membuat tafsiran tentang langit
ah, cuaca mendadak susah terbaca
tibatiba hujan, tibatiba kemarau
katamu,
“berhentilah meraba cuaca,
jika hujan, berbasah-basahlah
jika panas, berkeringat-keringatlah”
sejauh mana kau berlari?
ketika hujan mengurungmu tanpa ampun
(sempatkah kau lihat payung yang kuselipkan di tas kerjamu)
atau kau memilih berbasah-basahan
berlarian di antara gang-gang becek
juga petir yang gemetar
selebar apa langkahmu?
ketika matahari membakar ujung-ujung rambutmu
(ada saputangan yang kulipat rapi di sakumu)
apa kau tetap tengadah dengan gagah
ah,
kau mungkin telah sampai di tujuan
dan aku tak kunjung usai menafsir cuaca
Idul Adha Odeku
hari raya ini,
aku ingin mencium punggung tanganmu lebih dalam dan lama
mengecup kedua pipimu yang tirus dan mulai kehilangan sinar
mencari bulat mata juga lentik hidungku di wajahmu
sesuatu yang membuat kita begitu tak terelakkan
duhai odeku
akulah kalambemu
yang kerap kau basuh ubun-ubunnya dengan wudhu tahajjudmu
sebelum kau genangi sajadah dengan airmatamu
akulah kalambemu
yang tak pernah lunas membayar doamu
hanya bisa membelikan kopiah dan sajadah baru untuk hari raya
duhai odeku
nyanyikan aku kabanti
lafazkan aku zikir
lalu biarkan aku tenggelam
dalam rintik-rintik matamu
hari raya ini,
aku ingin mencium punggung tanganmu lebih dalam dan lama
mengecup kedua pipimu yang tirus dan mulai kehilangan sinar
mencari bulat mata juga lentik hidungku di wajahmu
sesuatu yang membuat kita begitu tak terelakkan
duhai odeku
akulah kalambemu
yang kerap kau basuh ubun-ubunnya dengan wudhu tahajjudmu
sebelum kau genangi sajadah dengan airmatamu
akulah kalambemu
yang tak pernah lunas membayar doamu
hanya bisa membelikan kopiah dan sajadah baru untuk hari raya
duhai odeku
nyanyikan aku kabanti
lafazkan aku zikir
lalu biarkan aku tenggelam
dalam rintik-rintik matamu
Jamuan Pernikahan
malamberwarna, milau manik yang di timpa lelampu
adam menggandeng hawa
ke lamin yang sesak tatap atau mungkin ratap
melebarkan senyum dan sayap
merangkuli doa yang deras mengalir
barangkali ada lirih yang terselip
seseorang yang sedang mengenang rindu
menagih janji, atau menggigiti jari kuku
percakapan yang bising
lelucon yang garing
setetes air mata
lesap ke dalam sup
malamberwarna, milau manik yang di timpa lelampu
adam menggandeng hawa
ke lamin yang sesak tatap atau mungkin ratap
melebarkan senyum dan sayap
merangkuli doa yang deras mengalir
barangkali ada lirih yang terselip
seseorang yang sedang mengenang rindu
menagih janji, atau menggigiti jari kuku
percakapan yang bising
lelucon yang garing
setetes air mata
lesap ke dalam sup
Teman Lama
di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergantung dorna dan yudistira
di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung benih dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paruparu
di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa
mungkin kita tak butuh apologi
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul
Setelah Apimu Membakar
setelah apimu membakar hatiku
haruskah kutandai pertemanan kita dengan silang dan tinta merah?
atau
kupadamkan hatiku dengan air mata
dan melingkari almanak dengan bunga
SENDRI YAKTI lahir di Kendari, 9 September 1980. Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari hingga sekarang. Bersama Teater Sendiri pentasdi Jakarta, Banjarmasin, Subaraya, Mataram, Bali, Palu, dan Makassar. Puisinya dimuat di Majalah Gong, diantologikan pada buku puisi Sendiri, Sendiri 2, dan Sendiri 3 (Teater Sendiri) serta antologi puisi Perempuan Penyair Indonesia (KSI-Risalah Badai). Tahun 2005 pentas monolog Bulan yang ditulisnya sendiri pada acara Perempuan di Panggung Teater, TIM.
buat posting biografi donk.
BalasHapus