Rabu, 24 November 2010

AHID HIDAYAT


Asiwung*)
  
itu bulan
bulat sempurna
piring perak
terapung di angkasa

“kekasih, joloklah
tak ada galah
asiwung pun jadilah”
katamu sambil tengadah

aku termenung
“mengapa kau bawa asiwung,
bukankah bilahan bambu itu
pasangan kain kafanku?”


*) sebilah bambu pengukur panjang mayat


Monolog Rama

(ketika malam dipirig rerintik hujan)

Istriku,
katakan kepada mereka, manusia
aku berperang di medan laga
sama sekali bukan kerna gengsi
akan kesucianmu aku tak sangsi

(petir menggelegar, tiba-tiba)

Istriku,
bahkan cinta pun harus bersujud
pada singgasana

(gerimis itu menjadi hening)



Menisik Jaring
  
Di bawah terik
Jaring kutisik
Jaring nasib yang terkoyak
Sebab waktu yang menghentak

Selepas senja tak merah
Dengan bilah dayung rapuh
Katinting kecil kukayuh
Melaut ke arah entah

Pada malam bergemawan
Kulempar jala, doa-doa dan harapan
Di sekitar teluk, di ujung palung
Kawan-kawanku melempar pancing
Dengan umpan irisan hati dan jantung
Dari tubuh masing-masing

Ketika angin mulai membasah
Sejenak kami mengusir lelah resah
Menyusuri palung waktu dan mereka-reka cerita
Seekor ikan dewata menjelma intan permata

Di hening subuh
Kami berlabuh
Meski apa yang terjaring hanya
Angin dan dera dingin semata



Molulo di Kelam Malam

Di sini, malam-malam kelam
adalah gairah. Dua tangan saling genggam
jemari kasarku hanyut menyelusup
di sela halus jemarimu erat mengatup
tangan bergoyang naik-turun dalam gerak ritmis
tak peduli pada gerimis dan waktu yang teriris
musik menghentak mengencangkan detak
kaki-kaki melangkah serempak ke kanan dan ke kiri
diayun ke depan dan ke belakang sesekali
maka lingkaran pun berputar melawan arah jam
mengekalkan gerak menjadi diam

Di sini, malam-malam sunyi
adalah keriuhan. Tetabuhan gong telah berganti
dengan keyboard yang melimpahkan aneka bunyi
dilontarkan sound system hingga malam jadi hingar
walau barangkali di matamu, wahai penyanyi, binar
telah lenyap di balik hatimu yang teramat senyap
sebab irama mesti tetap terjaga, tak peduli nada ria
atau lagu sendu, bukankah melodi mesti mengabdi
pada irama ayunan kaki. Di sini

Malam-malam molulo
Malam-malam intermezo.



Masjid Tua Wawotobi

tiada lagi tikar terhampar
sajadah pun telah dipindah
dari masjid tua itu

segenap pintu ditutup rapat
atap seng penuh karat
noktah pada kaca
yang tertinggal di sana

para pendaras Quran
para tetamu Tuhan
barangkali sedang berdzikir
di kilau marmar
yang lebih binar

hanya debu-debu suci
berwirid di lantai dingin sunyi

dari mihrab sempit
tali-tali cahaya terentang
: bermarifat menopang
keluasan langit



Bintang

malam menawarkan berjuta bintang
di kancah langit meluas pandang
cakrawala mendekap bumi tidur lelap
semesta menyapa begitu ramah
gelandangan dan jelata tanpa rumah
siang menampakkan sebuah bintang
di pundak bajumu, cuma satu, tanpa cerlang
engkau tegak berjalan, membusung dada
memandang tajam ke depan, tiada sapa hangat
bagi pesuruh yang mengangguk hormat
dan tergesa membuka pintu buat kau lewat


Surat Kemarau 1

kita memerah airmata kemarau
yang kian mengental, menggumpal
ladang waktu kita olah berdua
menanam bunga menanam cinta
“di mana gerangan benih?”
katamu
kekasih,
di tebing nurani kita
benih berakar bertunas

Surat Kemarau 2

kita menebar beragam benih
bermacam bunga, butiran cinta yang putih
tapi dengan apakah ladang waktu disiram
sedang airmata tinggal setetes dipendam
“betapa gersang leladang,”
katamu
moga-moga, kekasih
malam ini gerimis merintik
terbawa angin kemarau

Leladang Kerontang

kita terus mengolah ladang kerontang dari pagi
hingga petang bekerja tak henti-henti
meski terik matahari mendera jiwa dan raga
memanggang semaian kenang
kita terus menabur butiran harap
pada galur demi galur dan menyiram tunas-tunas
kehidupan dengan tetes demi tetes airmata
tetes-tetes darah putih darah merah
kita pun menunggu waktu dalam terpaan derita
sampai masa panen tiba
seperti bebongkah tanah yang kian kering meretak
kita semakin keriput dan pucat menjelma mayat
lewat bulan demi bulan sampai rambut penuh uban
sampai asing haus lapar, kita lemas terperangah
sebab hanya alang-alang
menutup hamparan leladang


Di Selat Cempedak

di selat cempedak
laut bergolak
kesiur angin timur yang kalut
bersekutu dengan kabut
mengirim bebayang maut
gemuruh bising mesin kapal
adalah derap kaki penjagal
memberi kabar kunjungan ajal
di selat cempedak
maut menetak


Dalam Perih

sepenggal duka
dari harmonika
sehampar garang
dari puncak siang
memerangkap sukma
dalam perih-luka
mahasempurna

april 2007


Di Luar Dekap

di emper kedai
seorang anak lelap
ketika malam lunglai
di luar dekap
bantal kumal kelabu
mengantarkan mimpi
lezat sepotong rindu
yang ingin sekali kubeli

april 2007


Tanpa Kata

adalah kata
tali pengikat paling menjerat
karena kata
kujunjung kau sebagai sahabat
kupancung kau bedebah khianat
dengan kata
dua gugus cinta menyatu rapat
dua lempeng benci berkarat
tanpa kata
aku dikubur sunyi liang lahat


Ahid Hidayat, lahir di Majalengka, Jawa Barat, 30 Agustus 1967. Mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Haluoleo sejak 1993. Sering menyajikan makalah pada seminar/pertemuan ilmiah, antara lain: Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia V di Bogor, 1992, Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia XII di Pusat Bahasa, Jakarta, 1999, Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana- kesusastraan Indonesia XV di Yogyakarta, dan Kongres Internasional Bahasa Indonesia di Jakarta, 2008.  Artikel penelitiannya antara lain dimuat dalam buku Sastra Masuk Sekolah suntingan Riris K. Toha-Sarumpaet (IndonesiaTera, 2002), Cakrawala Karya yang disuntingnya bersama Nikolaus Pasassung (Penerbit FKIP Unhalu, 2006), dan Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda, Sejumlah Telaah (Penerbit FKIP Unhalu, 2009). Menulis puisi dan cerpen, di samping menerjemahkan cerpen dan menulis artikel, yang telah dimuat di sejumlah media cetak (Bandung Pos, Fajar, Galamedia, Gong, Horison, Kendari Pos, Mandala, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Republika). Pernah menjadi juri tahap II Khatulistiwa Literary Award (2005), sebuah penghargaan buku sastra terbaik tingkat nasional. Bersama Syaifuddin Gani menyunting kumpulan puisi Pagi yang Mendaki Langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar