Jumat, 05 November 2010

IRIANTO IBRAHIM


Sungai Sajak
: Syaifuddin Gani

 seluas apakah sungai sajakmu
sedalam tatapan gerhana
atau setetes embun?

mungkin tajuk pinus itu
lebih tajam dari rindumu
bahkan lembah
tak terukur sebagai rahim?

kau pun jadi setakzim ilalang
rebah dan tegak
di bilah-bilah subuh
yang masih kau ragukan
apakah iblis tak sungkan berkawan?

seluas apa sungai sajakmu
mungkin kau tak perlu
menunggu angin terluka
sebab gelombang lebih merdeka
dari laut yang menampungnya

kaulah sajak itu.

Kendari, 13 November 2007


Airmata Langit
1
kalau saya mati nanti
apa kau akan menangis?
sambil tersedu kutunggu jawabmu

daun asam jatuh berguguran
seperti gerimis pagi tadi
- airmatamu juga
tapi kau tetap tak menjawab
sepatah katapun.

lalu kuberi kau selembar
sarung buton yang dititip ibuku
sebelum berkemas
kuharap kau memakainya
saat melayatku -misalnya
bila memang kau tak menjawab
kukira dengan memakainya cukuplah bagiku
meski kau tak menangis

2
daun asam masih berguguran
airmatamu lebih deras
langit tetap cerah dan seperti semula
kau tetap tak memberi jawab apapun

malah kau balik bertanya
kalau saya mati nanti
apa kau akan menangis?
saya hanya tertawa
sebab tak adil menjawab
pertanyaan dengan mengajukan
tanya yang sama.
terkesan hanya berkelit rasanya.

3
langit tiba-tiba gelap
angin bertiup kencang
daun-daun asam beterbangan
kita saling menatap
pertanyaan kita menguap
menjadi awan hitam yang kelam
dan langit akhirnya menjawab
dengan airmata yang lebih fasih dari
semua tanya yang pernah ada.

Kendari, 1 Juli 2010

Tentang Buton
sudah mungkin kau tahu,
kalau buton bukan melulu sejarah.

saya berdiri di sini, di pantai
yang pernah mencatat kedatangan
labolontio, perompak bermata satu.
dan kau, tepat di sisiku
melantunkan kabanti
:kisah raja-raja
dan prahara

sebab buton bukan melulu sejarah
dan kau terus memintaku berkisah
maka kuajak kau menyimak
tetabuhan gendang pengiring
posuo kamba-kamba wolio
juga barsanji sarana masigi
sepanjang malam
sepanjang sisa nafas
yang mengapung
di keluasan laut banda

sebab buton adalah karya seni

Kendari, 7 Juli 2010



Surat Dari Ibu
anakku,
mungkin aneh bagimu bila tiba-tiba
pegawai pos datang membawa surat di kamar kontrakanmu.
tapi percayalah, saya menulis surat ini karena
saya berharap kau mau menulis surat juga untukku.

bukankah akan sangat menyenangkan mengetahuimu
lebih sibuk menulis surat untukku ketimbang memegang parang
dan mencipta ketakutan bagi yang lain?

anakku,
sejak dulu saya melihatmu sebagai lelaki
sebagaimana ayahmu yang tak pernah urung
selangkah pun pada apa yang diyakininya benar.
apakah kau berharap saya membiarkanmu
atau malah diam-diam kau mengharap
saya merentang tangan menerimamu berlari dalam pelukanku?

entahlah anakku,
tapi mendengar orang-orang berbicara
tentang perang dan mereka yang teluka
dan dirawat apa adanya di rumah-rumah kontrakan
membuatku tiba-tiba menulis surat ini kepadamu.
pegawai pos sempat bertanya,
apa saya tak punya ponsel untuk menelpon?
tapi saya bilang, rasanya kasih sayangku lebih dipahami oleh surat ini,
karena (bukankah?) saya yang telah mengajarimu
menulis dan berhitung sejak kanak-kanak?
bukankah ini akan mengingatkanmu padaku
dengan mudah sebagaimana kau begitu
fasih menceritakan calon mantuku selalu?

ah, anakku
mengapa sekolah tak bisa membuatmu mencintaiku?

Kendari, 19 Juni 2010



Dari Balik Jendela
:Mavi Marmara

1/
kau mungkin akan datang ke sini sore ini
atau terpaksa pulang kembali
sebelum sempat membagi luka

apakah putrimu menangis saat kau kena tembak?
seperti sudah kuduga, ia persis ayahnya

anak-anak kami juga terus terlahir
mereka fasih menggenggam ketapel
persis kami sejak kecil
mereka, pelontar batu yang tak pernah lelah
untuk jumrah nanti, kelak kalau kami naik haji

2/
kami masih menungguimu di sini
di depan jendela yang hangus
di sisi nasib kami yang dikoyak
sambil menduga-duga
: mungkin kau terpaksa pulang
sebelum laut benar-benar fasih
menerjemahkan luka.

Kendari, 2010

Perahu Kanak-Kanak
: arif oba – Once Upon a Time in Saponda

bila laut atau matahari telah rampung menafsir gelisahmu, masihkah juga kau berharap menyimpan impian dalam lipatan baju, atau menyisipkannya di sela dinding jelaja? begitu kata ibu saat menggenggam tanganku meniti sebatang kayu menyongsong sang ayah.

aku melihat ayah tersenyum. memandangnya dengan mata kanak-kanakku sambil mengharapkan diriku menjadi perahu dalam riak percakapan mereka. ayah menisik jaring, ibu menyalakan tungku. aku tetap seperti semula, membiarkan diriku menjadi perahu. perahu kanak-kanak.

begitu senja selesai, dan gemuruh ombak memanggilku sebagai perahu, ayah telah terlelap seperti sedang menyelami mimpi di kedalaman laut. namun ibu, perempuan yang selalu berhasil menerjemahkan suara karang dalam dadaku, masih terus menjahit saku bajuku yang sobek dengan jarum tangannya yang berkarat. sebab katanya, butir-butir pasir harus kusembunyikan dalam sakuku sebelum ia terbang menjelma bintang di langit.

aku sangat bersungguh-sungguh menjadi perahu. sebab kata ibu, perahulah hidup kami. dan setiap kutanya pada ayah kemana akan ia tambatkan perahu itu saat pulang dari mata senja, ia dengan pelan membisikkan di telinga mungilku, di hati ibumu, katanya.

Kendari, 6 Mei 2010

Percakapan Maut
selain padaku, kepada siapa lagi
kau minta mati bersamamu
sudah usangkah cinta bagimu?


begitu akhir perbincangan mereka
malam berkabut dalam cahaya
kendaraan hanya sesekali melintas
dan tangan mereka kian erat
menunggu maut yang selalu terjaga

angin yang basah berhembus
tak ada kata-kata dari bibir mereka
kecuali nafas satu-satu
yang kian memburu
seperti kaki-kaki kuda terpacu
seperti ingin segera berpadu
dengan maut yang syahdu

mereka saling menatap
dengan tangan erat terkepal
dan jantung mereka
sebisu malam yang kelam

Kendari, 12 April 2010

Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Perkenalannya di dunia sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (kumpulan sajak teater sendiri), Sendiri 3 (kumpulan sajak teater sendiri) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), dan Percakapan Lingua Franca (2010). Kumpulan Sajak tunggalnya terbit untuk kalangan sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004); Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006); Yang Tak Pernah Selesai (2007). Semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca, teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra dan teater di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pernah menjadi peserta Program Penulisan Puisi Mastera di Samarinda. Buku antologi sajak tunggalnya, Buton, Ibu, dan Sekantong Luka (Framepublishing, 2010). Mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II di Bangka Belitung dan TSI III di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

3 komentar:

  1. liris... mengalir, mengusap-usap tepian perasaanku, mataku,
    Keren...
    Oya, judul "Tentang Buton". Kenapa masih pakai kata "tentang"? Kalau saya lebih suka tanpa tentang. Tapi, ini komentar saja.

    BalasHapus
  2. Trimakasih Bang Faizi telah masuk di blog ini. Semoga blog ini dapat menyapa pembaca yang luas mengenai sastra Kendari. Soal judul puisi itu, dikembalikan kepada penyairnya. Betul kan bos. Salam damai...

    BalasHapus
  3. Salam Sastra,
    Dengan senang hati saya posting di blog kami, biodata dan puisi teman-temaan penyair dari Kendari di reRublik Sastra (www.publiksastra.co.cc), mudah2an menjadi media penyambung komunikasi dengan rekan yang lain. Salam dari kami para sastrawan dari Sumenep, Madura - Syaf Anton Wr -

    BalasHapus