Rabu, 10 November 2010

SYAIFUDDIN GANI


Mata Bisu

suara-suara dari daging kering
dan warna merah menyalak dan melalap tulang-belulang nasib
tak ia hiraukan karena ia si mata bisu

sebongkah hijab mengurung matanya yang sesungguhnya cemerlang
menjadi legam dan karam
dari denyut ribuan aduh
yang tergodam di liang-liang aib

ribuan jantung menggenang di lumpur terik
sebelum meletus jadi mayit

oe si mata bisu
dilumuti katarak kuasa
memiliki seribu cadangan nyawa
ia kunyah api, ia mamah belati
mengutuk ia jadi si mulut buta
dan memahatnya jadi tugu lupa

ia mulut buta
tak melihat mulut buka
ia mata bisu
tak melihat warna janji, pelangi hitam semata

semata bisu

2010



Pada Ribuan Bandar

dari teluk mandar
aku labuhkan ribuan jangkar pada ribuan bandar
aku terkapar dan tersadar, gigir dan terbakar
dalam pembakaran asar

aku lafazkan salawat badar, merangsek dari fajar ke fajar
cinta tak kuasa ditakar seperti menghitung alamat yang samar
sebelum aku mafhum, takdir dan takbir
bergeluruh dipeluk banjar

2009

Kembali Terkenang Para Kekasih

rindu tergaru musim baharu luka yatimpiatu
kenangan tersaruk-saruk di hutan-hutan anduonohu
bukit marun angin harum
nasib gugur kota kabur
menggiurkan kata-kata
mengharukan segenap mata

di pantai abeli, sayup-sayup pedih dari sepasang kedasih
di lembah janji, letupan api membakar segenap harkatdiri

kembali terkenang para kekasih
oh bunda yang jauh oh winda yang berlabuh
di pulau surga di dermaga ke lima
oh negeri tempurung oh nasib terpuruk lambung terkurung
waktu adalah surga
janji semata lintahapi
jarak ialah sajak

di bawah telapak sunyi marcapada
aku digonggong musim kerinduan
dirongrong muslihat lidahjanji
berkepanjangan

Kendari, 2010


Magrib Di Udara

garis api menelikung langit
gelombang diam gelembung legam
berdiang dalam tungku maharaya

2009


Puncak Bogor

bukit-bukit ranum
dingin berangsur–angsur
lampu-lampu menganggur
kabut lelehan benang diangsur
melilit keheningan mengabur

2009


Pare Pare

pagi letuskan bau buruh
menyembur ke udara subuh
ton demi ton badan dan barang
menumpuk dan mengerang
menghardik dan mengganyang leher dermaga
penumpang dan pencoleng
beradu rayu
sebelum lengking sirine
memanggil

pagi itu
dermaga pare-pare jadi bongkahan rindu
air mata dan sepi jadi bangkai perjalanan

2009


Langit Lalu Rebah ke dalam Matadahaganya

sebongkah batubara menggelincir
ke dalam rongga dahagadadanya
lalu tersungkur ke dalam dagingjantungnya

ia mengerang, oh langitkembara alangkah maharindu pesonamu
oh lautkembar betapa mahabuih gelegarmu
membongkardobrak pintufana darahku
oh bumikandung tak jua rampung dengan seribusembilu kidung

langit lalu rebah ke dalam matadahaganya
laut lalu menggelegak ke dalam rahimpuasanya

dan batubara itu pecahrekah jadi abu jadi api puisinya

2010


Dua Ribu Tangga Ombak

dua ribu tangga ombak memecah kegulitaan sunyi
merapikan pakaian kemurungan pesisir
enam pasang cahaya merinding di laut
mengirim musim barat ke bukit-bukit gorontalo

sunyi yang legam menggelepar dibantai dua ribu gelombang
gulungan malam mengobarkan kepedihan sebelum menjadi buih

memuih
jadi maut putih
menjelma dua ribu gelombang kesunyian
teluk tomini

2010



Di Padang Konda

di padang-padang konda langit dikerumuni senja
bukit-bukit merenung dirayapi angin tundra
tujuh anoa membahana memburu cahaya magrib
anaway menuruni lembah nasib dan matahari pun raib

2010


Wangi-Wangi

di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan

ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan
pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam

kutinggalkan dermaga wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan

2008


Di Balik Jendela Abu Aku Melihat Ida Memetik Gurindam Air Mata

1
Sepi yang riuh mengerumuni dinding-dinding kerajaan Riau
Memadat lalu merapuh jadi reruntuhan Gurindam

2
Bakau yang hijau menghidupi Raja yang tak baqa
Mendoakan pantun dan penyair semoga dianugerahi kataabadi

3
Di balik jendela abu aku melihat Ida memetik gurindam air mata
Air matanya menjelma tumpuk kemurungan batu-batu

4
Dengan jemari gemetar dan jantung yang gentar
Raudal mengabadikannya dengan sabetan cahaya fana

5
Oh Raja Ali Haji, bulu-bulu tubuhku mengeras jadi anak panah
Memberondong matapantun matajantung mataampunku

6
Sepi yang riuh membopongku ke Pulau Penyengat
Disalami angin laut angin maut, disongsong aduhan rebana, kembaraku tersengat

7
Oh di Makam Raja Ali Haji, aku menyaksikan Henry didoakan air matanya
Binhad menggeleparkan sajak-sajaknya dan Koto membasuh matapenanya

8
Di hadapan makam Raja Ali Haji, Jamal memimpin para penyair
merambati batu nisan dengan doa-doa seribu gurindam.

9
Gurindam dua belas, mataair tertuang dalam seribu gelas
Gurindam dua belas, Hasan dan Irianto mereguk satudua tenggak

10
Gurindam dua belas, Thendra dan Dea kau rebut berapa pasal
Gurindam dua belas, Bode dan Yopi pasal apa yang kau teguk

11
Gurindam dua belas, Adin dan Hudan adakah kau tangisi beberapa amsal
Gurindam dua belas, Iman dan Langgeng dengan dua belas pasal, ia patut jadi misal

12
Gurindam dua belas, Faisal dan Sukma adakah terebus engkau punya sukma
Gurindam dua belas, Mahwi dan Gani jika engkau tetap kesasar
Pulang dengan tangan tak membawa satu pun pasal
Engkau dikutuk jadi mayat batu jadi laut batu.

Tanjungpinang—Kendari, 31 Oktober—02 November 2010


Tepi Hayat

jantungku angin mataku langit
seribu taifun mortir aku sejuta pasir

ledakan-ledakan kepala menyoraki gaza
aku seliat baja engkau sebetulnya busa
dari mulutmu luka dirajah tuba

di liang-liang pasir tepi barat
meletus anyir sampai ke tepi hayat

aku kembali ke tengah mayat
dalam baiat dalam rakaat berpeluru safaat
kusongsong engkau sampai tepi kiamat

kau renggut tanah darah
kau reguk kembali di cangkircangkir neraka

nyala yang tumbuh di gaza
nyawa yang subur di palestina

Kendari,  23 Januari 2009

Sungai Bara¹

sulur-sulur bakau menjaring subuh
liur-liur subuh menyaring kabut

pagi seperti kaca, bening di kedalaman hening
laut seperti kata, takzim di kediaman angin

aku menjelma lumut di rahim tanah
mencelup rindu ke sungai bara

oe anak istri
oe anak negeri
di sungai bara, batu cinta membara!

Tarakan-Kendari, Februari-Mei 2009
¹nama muara di Tarakan



Angin Magrib Pasar Kembang
bersama koto dan thendra

angin magrib mengeleparkan bau hitam
mengantar kami ke lembah ilham
yang bernyanyi dan berapi
di lorong-lorong fana, dewa dewi
laron-laron putih dan kumbang-kumbang abu
membakar udara dan menandaskan diri dalam pesta
rambut cemeti membetot betis itali
ditangisi badan jalan papa
badan dan gairah terebus rayu, kaca dan kata beradu
pecah, melukai punggung malam

aduh
sebuah lecutan membabat jantung
irisan senar mengelana di daging tulang

tubuh kami ranggas sepanjang api
terkapar mendidih dalam lumpur matahari

angin magrib pasar kembang
menggeletar ke jasad malioboro
musim haru makin panjang
menggelepar sampai ke solo
rambut kami dirambati kabut begadang
lalu sekuntum mawar berbau pepsi menggoda, hallo

kami meramal langit yogya yang abu
terharu diberondong mata biru

di tengkuk trotoar, terbenam jejak seorang sufi
terbentur di dinding puisi, dibopong dewata bali

kami berzikir di pasar samar
berdoa di antara botol magrib dan tarian isa
adakah gugur hujan badar

kami berkendara keranda
melaju ke pemakaman sleman
angin magrib jatuh
tersedu di pintu subuh

selamat pagi

Yogyakarta-Kendari, 2009

Mawar Kuning Untuk Ibu

Ibu, aku menjadi Liu
Mencari mawar kuning ke rimba Konawe
Bukan untuk Raja Buton yang sakit
Tapi untukmu sebelum menuju langit

Di Kendari, matahari tiba-tiba bersuara, seakan pamit
Mengabarkan jantungmu menyampaikan kisah-kisah rambutmu
Ke alamat rantauku

Maka kupetik sekuntum kobaran matahari
Dan kujelajahi padanglembah Anaway
Kupetiklah mawar kuning, sang penawar negeri Konawe
Lalu kubawakan untukmu Ibu
Yang terbujur di Polewali

Sekuntum kobaran matahari Ibu
Membakar air mataku mendidihkan dosaku
Seuntai mawar kuning Ibu
Mengharumkan  mataku meremajakan rinduku
Kubawa untukmu yang tak lama lagi hijrah ke Langit

Aku tiba di Polewali, langit sepenuhnya diteduhi matahari
Bumi adalah keharuman mawar kuning

Engkau terbujur di ruangan putih
Ditangisi doa murni anak-anakmu yang sedih
Suara-suara ayat suci membasahi nyawamu memandikan tubuhmu
Cucu-cucu tawariangmu menyenggukkan doa-doa belia

Dan mawar kuning Ibu, kusematkan di rambutmu yang panjang
Engkau melihatku Ibu?
Kutaburkan serbuk-serbuk matahari
Menjelma doa-doa surgawi di kebeningan nyawamu

Air mata kami tek henti mengalirkan doa dan pengabdian kami bergetar Ibu
Melihat engkau melenggang ke Langit Mawar

Ibu, langit menguning
Bumi amin

Polewali—Kendari, April—Juni 2010


Perjamuan Magrib

1
istriku. azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku
kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batu-batu tasbih
merah di luar kamar bercengkerama
di keningmu
matamu terbuka seumpama fajar terluka
bilal mengundang ke perjamuan magrib
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman

suamiku.bangunlah dari bebatan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut
temaram isya segera datang, satusatu
bintang bertandang
di luar, jamaah melenggang ke taman
sembahyang
sebelum iqamah datang sebelum kiamat
jelang

2

sepasang suami istri
membuka kamar membuka pagar

lalu terbakar

kaki-kakinya lariklarik puisi
hikmat dan nikmat ke terowongan magrib
jamaah bersorban berkerudung langit
mengerubung kiblat, lalu imam berkidung
oi, alangkah mawar Allahu Akbar
penawar jiwajiwa memar
rubuh dan rukuk dalam geluruh
sembahyang

Kendari, 12 Agustus 2008


Syaifuddin Ganin lahir di Kampung Salubulung, Mambi, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, 13 September 1978 dari pasangan Abd. Gani Djalil dan Siti Maryam. Menamatkan SD tahun 1993 di Salubulung, SMP tahun 1994 di Mambi, dan SMA tahun  1997 di Polewali, Sulawesi Barat. Tahun 1997 masuk di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Haluoleo dan selesai tahun 2002. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998. Bersama Teater Sendiri, telah melakukan pertunjukan teater antara lain di Raha, Uepai, Unaaha, Kendari, Banjarmasin, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Taman Budaya Solo, Lembaga Indonesia Pransic Yogyakarta, dan Pusat Bahasa Jakarta. Mengikuti kegiatan Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV di Takalar tahun 2004, Pesta Penyair Nusantara di Medan tahun 2007, dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus tahun 2008. Puisinya diantologikan pada antologi bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, kumpulan sajak tunggal Perjalanan, antologi bersama Kendari, Ragam Jejak Sunyi Tsunami, Medan Puisi, 142 Penyair Menuju Bulan, Bunga Hati Buat Diah Hadaning, Tanah Pilih, Wajah Deportan, Pedas Lada Pasir Kuarsa, Rumpun Kita, Puisi Indonesia Mutakhir: 50 Tahun Dimas Arika Miharja, dan Percakapan Lingua Franca. Sajak-sajaknya dimuat di Horison, Republika, Seputar Indonesia, Lampung Post, Majalah Gong, Sultra Pos, Pedoman RakyatFajar Makassar,  Jurnal Sundih, Radar Sulbar, Kendari Pos, Pikiran Rakyat, Jurnal Lembah Biru, Majalah Annida, Jurnal Puisi Sumbawa, Ruang Puisi Rumah Lebah, Situseni.com, Majalahimajio.com, dan Analisa. Bulan Agustus 2009, mengikuti Perogram Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) bidang Esai. Memiliki satu istri dan satu anak yang keduanya sangat dicintai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar