Rabu, 10 November 2010

LA ODE GUSMAN NASIRU


Melodi Bahasa Rindu
            Persembahan buat almh. Wd. Nursafa Nasiru

sepanjang tapak-tapak kecil menuju semayam
aku baringkan masa lalu dalam gendongan
tapak tilas dalam ruang bernama kenangan
aku bermain api dengan seribu dendam dan kecam

ada yang ingin aku sampaikan sore ini bersama
selusin pesan lainnya yang terbang tanpa arah
ketika langit menyirami petang dengan darah
tentang sajak yang luka
tentang pispot, selang infus, dan bau bangsal rumah sakit
tentang perabot masakmu yang kini tak bertuan
kursi tua, meja rias, atau ranjang biru
tapi aku ragu, katakata yang kuramu
mati di tepi lidah, melulu lesu dan sendu

lewat lenggok asap tarian dupa
semerbak kemenyan membius ruang
seperti senandung tahlil memekari makam
air mata menerjangku dalam gelombang tsunami
menciptakan dalam dada gertak lindu
dan aku letih berpusar pada putaran pilu

jika kau rindu padaku
datanglah membesuk kusut ragaku dalam mimpi
jika aku yang merindukanmu
cukuplah al-fatihah di tiap ujung shalatku


Kering

dan remahremah fatamorgana
lesat menikam panorama
terbakar dalam garis khayal sebuah utopia
dan siang menggenangi kelopak mata
semacam ada siasia
mengenang lentik hujan terakhir
gelisah menelusup deru gurun
maka, sajak hanyalah kubangan kata
tak lebih dari sebutir air mata
Yohana, lepuh aku
dalam baramu


Elegi Sepanjang Abad

perempuan pencari cinta
kehilangan abjad meski sekadar
mengabur kutukan ayat kitab
garis nasib penuh jadi liku
kabarkan liar lukak telapak tangan
tujuan?
hanya tertumpu disatu titik
jika pun malam terlalu betah
samar birahi merenggut menari
di dadadada mereka terengah
mengejar janji
O, perempuan menyusui pagi
menyusui burungburung dahan matang matahari
menyusui burungburung asing di kedua bilah bersemadi


Wisata Ujung Gang

orangorang gelepar meniru gelagat sejarah
lagi. Menukil sabda peradaban
menadah kenikmatan dari desah ke resah
orangorang tak mau tahu, bahkan segan tuk sekadar
peduli gaduh irama sumbang
menabrak gempita diskotek kremang
kelapkelip secentl tatapan lengang
perempuan bibir rekah melarut di topi miring kutuk
berkutat menyambung nafas
yang gelayut di selangkang buas


Pagi Jalan Raya

mengunjungimu di hariraya
lafalkan biji tasbih semesta raya
tersenyum sentosa bersukaria
kita zikirkan kemerdekaan yang euvoria


Syair Pulang Manusia Kembara

tak terkecuali siulan burung
di pohon akasia mencukupkan
ritmis lagu pagi, ninabobokan
sepotong pucat bulan dalam dekap
kuning fajar menyembul
dan tari kupukupu liuk menjilati madu
lain setelah jasmine, rose atau
Bougenville mengitari taman
tersesat dalam garis edar embun aroma
padu menjarum runcing menisiskkan hampa
tak terperi segenap rasa
Mak, rindu akau nyala petromak yang
bapak hidupkan sebelum maghrib turun
menjilati celah daun sirkaya
Pak, rindu aku temaram pelita yang
mama sembunyikan di sudut kamar
hampiri tiap lelah dan memerah


Hari Terakhir
            Persembahan buat almh. Wd. Nursafa N.

juta larik puisi mati di kecupan terakhir
di putih permukaan jidatmu
katakata kaku menahan haru
aku kunjungi masa lalu seluas suci bentang kain
ada senyum serumit pahat rindu di jantungku
ada nama pada tiap letih ingatan buram

jika ikut menilik langit itu siang
maka kau barikade pada bait dalam mantra sajak menohok
sungguh, tak ada perih lebih dari kenangan
sedang kenangan tak pernah mati tertusuk jarum waktu
dan berputar sekekal penuh lingkaran

siluet roh beringsut menikam biru kantong mata
dan nursafa!
guratkan aroma wajahmu di mataku!


Perempuan Pelukis Pagi

perempuan yang melukis sketsa pagi
di matanya ada lingkar ganjil tahajjud
dari waktu ke masa ia menunggangi peristiwa mematahkan aral
melagukan doa-doa dengan irama nada sumbang
sampai tebal bibirnya ayat suci pecah
            : burung-burung mencandai rambutnya, juntai rumbai putih
              bergelantung di gelombang rubaiat

ia perempuan yang hujan jatuh dari peluhnya
teratai yang kelopaknya senantiasa pelangi di lengkung petang
menyuburi kisah-kisah dari kedalaman purba rahimnya
antara dua kaki yang pijak di bumi surga dan neraka
ketika waktunya harus tiba

perempuan itu harapan dari rongga mimpinya terlalu bunga
berlalu mengaliri liuk-liuk takdir dan permainan nasib
pijar di taman madu firdaus
pada luka-luka pijaknya, anyir sembilu berbau getir
pada tiap waktu menujah perih jejaknya, aroma kerudung menggapai silsilah
ada rencana yang tidak mampu kau reka
menghanyutkan khilaf jauh di malam-malam rembulan
di belantara hutan gemintang
                        di ribuan bias warna semesta matahari
                        tembang-tembang sufi menjumpai kiamat
            :           yaa-siin


Meja Komputer, 19 November 2009 10:59 P.M.



Desember terperangkap dalam Mataku

wajahku di dada desember terbenam
pada putingnya gulali lebat berbulu titik-titik air curah
tiris di setiap rembang berbau ungu
meleleh di ujung hari langit kelabu
:aku menantimu

waktu selalu pancaroba, desember selalu kenangan
kita pernah menghirup malam dengan bau hujan
bahasa basah yang terjuntai dari ujung-ujung ranting
menggenapkan sunyi di setiap seruput kopi kita
seperti getir peristiwa itu mengingatkanku pada matamu
dengan dua malaikat terperangkap di dalamnya
menyodorkan satu kisah perpisahan
seperti tanah kehilangan bau kemarau pada desember kedua
            :aku mulai ragu

sekawanan angin desember kujamu di ruang tamu
mereka gugup meliuk di atas sofa
menikmati kudapan lebaran tempo hari
kemudian melesap di kedalaman rongga telingaku
dengan satu berita pernikahanmu
            :aku ingin merobek udara!

telah tiga desember kau tak datang
aku bersitahan membenahi kerinduan
: ini tengan seorang lelaki kehilangan kekasih

kau dengan kekasihmu, 20 November 2009, 07:17 P.M.


Ia Masih Menunggu
                        : kepada Nasiha

perempuan yang jemarinya keriput waktu
cokelat nelangsa menari dengan musik kemarau
membasuh jaringan masa lalu pada selembar foto
di mana ia dan suaminya lugu duduk di depan penghulu

apa kau tak datang dengan wajah batu cadas
dengan senandung matahari dan lagu musim kering
meminjami waktu anak-anak kecil tak berbaju
melukis mimpi di tanah tandus Wolio?

perempuan itu bercermin redup jauh ke dalam matanya
lewat air mata dan doa-doa
wangi kambalagi mempermainkan kenangan
kisah-kisah yang relief rontok bersama batu-batu benteng

tangannya menaruh foto di bawah bantal
warnanya pudar bunga tidur
ada selendang ungu dengan motif ilalang
garis-garis kenangan yang putih susu
ia usap kedua matanya

hamparan cahaya masih membiru di langit
sebagai dada suaminya retak tanah falsafah

apa kau tak pulang
membawa rahasia dari negeri samudra dan belantara
membawa perbelakan nuju lautan dan tebing makna
kehidupan paling fana

perempuan itu rebah di jantung senja
dengan warna pelangi paling buram.
Mengharapkan kekasihnya yang telah lama berpulang

Kendari, 21 November 2009



Kepada Seorang Perempuan
                        : Saudaraku, Wd. Rizky Adi.P.

Serupa satu hal yang terkadang lupa kau ceritakan
kepadaku, kita terkadang khilaf bahwa sedang
memanjati batang usia yang semakin meninggi. Lalu kita
segera paham bahwa banyak hal yang belum kita
kerjakan untuk memperbaiki diri

purnama di rongga matamu
selalu menyadarkanku
tentang persahabatan yang murni tanpa tendensi
cita-cita yang kita lekatkan pada tekad yang bulat padat
tentang hal-hal kecil dari masa lalu yang selalu
membuat kita terpingkal bahkan untuk alasan-alasan
konyol yang tidak logis untuk ditertawakan

seperti katamu ketika langit menjatuhkan hujan
aku belum mampu membaca musim
sekadar merapal arah angin, atau menerjemahkan ayat-ayat cuaca

aku masih seorang penyendiri, betah menikahi sepi
membaca berpuluh-puluh cerpen yang jarang kuingat judulnya
beberapa buah novel, bab-bab karya ilmiah tentang fiksi dan karya sastra
kamus besar bahasa Indonesia yang kau pilihkan untukku beberapa
waktu lalu
tapi aku tak menemukan cara berterima kasih
atas segala waktu yang berhasil kita habisi
hari-hari yang telah kita robek di perpustakaan
sunyi yang pernah kita bunuh di bilik warnet dan sudut-sudut kafe
atau, oi, aku merindukan warna amarahmu yang meletup-letup
ketika tahu maagku kambuh karena menyepelekan waktu makan siang

duh, semoga kau paham
tulisan ini aku tinggalkan di kamar dalam keadaan kacau
entah kenapa ia mampu berbenah dan mengajakku bertanya
“hayo, siapa nama kekasih baru yang lupa kau ceritakan kepadaku hari itu…”

Oi, bagaimana kabarmu?
aku harus merapikan kertas kerja dan menemuimu,
satu novel yang kau janjikan belum sempat kusentuh
kemarin aku telah membeli novel baru
kapan kita bertukar cerita lagi?

Kendari, 02 Agustus 2009



Pada Sebuah Ruang
            Saudaraku : Zainal Suryanto

jauh di kedalaman suhu matamu
ada kata yang tak pernah habis terbaca
pada lajur deret rancu tabel
baris dan kolom yang entah kapan selesai kau garis

diam-diam aku memuja gelora 
melahap waktu lembar demi lembar
yang jatuh tepat di atas kertas
                        dan semesta hanya satu bunyi jangkrik

aku belajar mencintai arwah malam
yang entah berapa kantuk kau lelapkan
di antara fitrah manusia, ambisi dan semangat
barangkali hanya diam yang terjaga,
dirimu juga
oi, bahkan tuk bermimpi kau tak sempat



Syair Pulang Manusia Kembara

tak terkecuali siulan burung
dipohon akasia mencukupkan
ritmis lagu pagi, ninabobokan
sepotong pucat bulan dalam dekap
kuning fajar menyembul
dan tari kupukupu liuk menjilati madu
lain setelah jasmine, rose atau
Bougenville mengitari taman
tersesat dalam garis edar embun aroma
padu menjarum runcing menisiskkan hampa
tak terperi segenap rasa

Mak, rindu akau nyala petromak yang
bapak hidupkan sebelum maghrib turun
menjilati celah daun sirkaya
Pak, rindu aku temaram pelita yang
mama sembunyikan di sudut kamar
hampiri tiap lelah dan memerah


Gadis, aku ingin kita tidak lekas dewasa

tiap hujan merayap dijendela kaca
buramnya memperjelas masalalu yang sketsa
menebaknebak pikiranku
kian lebat makin menjadi

lari kecil telanjang anakanak dipayungi
guyur prajurit langit meruncing
tak ada duka pun luka
kecuali lelah dingin birukan bibir

rekah senyum gadis kecil itu
Aha! Bocah itu menjelma peri dimataku
semacam manis warna muka seseorang

                                                Apa kabar Atma?



Sajak Langit Dan Lelaki Yang Masih Sendiri

cuaca meludahi hari, matahari kuyup berlari
rinairinai gerimis melata di beranda
ada wangi aspal aroma rumput basah
menuangkan pekat sajak secangkir kopi
dedaun gemertak mengumumkan dingin
merunduk lembut kerontang tanah
menengadah

kau, mari ikut sarapan sambil menyantap
hidangan langit memekari kuncup dalam
vas bunga taplak meja


Seberkas Pesan Untuk Perantau

petuah atau pesan purba tak begitu beda
menunjuk arah peta buta menebar jala
cuma sekadar media zaman melompat menggila
sebagian menapak diperut gua
sebagian meluncur dimulut bapak


Jangan Sayang, di Kamar Saja

“jangan keluar kamar sayang”
dengus malammalam bau peluh
peluh orangorang meneriaki bulan
bulan yang kerap berkhianat
melukis cuaca kelabu lunturkan hujan
hujan yang menyoraki tangis
anakanak jalanan
jalanan yang hanya menyisakan laknat kematian
dan sekian petak untuk orangorang
yang gemar menghujam bulan

“jangan keluar kamar sayang”
udara tak lagi menyisakan musim pericintaan segala manusia
di sini, di kamar ini, kita masih punya
tempat mencurahkan segala rahasia

“ambil kertas” kita tulis sebuah syair
tentang negeri ini. Petiklah baitbait dari mataku


Euvoria Rindu #2

Maka aku yakin
Bertamasya ke dalam telaga air matamu
Sambil memintal doa-doa dari sujudmu
Serupa melepas segala khilaf yang lekat
Melumur tubuhku

Sedangkan rindu pada wangi pelukmu
Adalah belati yang pelan-pelan
Mengiris-iris dua bilik jantungku

Jika ramadhan menguap
Meninggalkan segala
Biarkan aku bergegas
Menjemput teduh buai lenganmu

Mama, aku mencium dua wangi sorga
            Mengintai dari balik telapakmu



Solilokui

Yohana, kekasihku berkerudung ungu
Aku mengenalmu sebagai malaikat yang tak mampu terbang
Karena sayapnya luka dan bolong dihempas angin
Beribu-ribu mil telah kau arungi jagad mencapai kumulus
dan lupa pada pulang karena udara hitam dan bau api ban yang
dibakar di tengah jalan.
Jantungmu bau polusi

Yohana, kekasihku bertubuh langsing dan bahenol
tunggang-langgang mengejar tepi gejala yang telanjang
—aku mengingat peluhnya mewangi sepanjang pematang sawah di kampung—
sebab globalisasi berlari secepat evolusi. bumi menyeret matahari
hingga ke sumbu yang kering tanpa pelumas
seperti roda angkot menjerit kekurangan bensin
yang harganya mencekik desah nafas

koloni gedung dan menara melukis pemandangan
menutupi gelandangan yang sekarat di bawah kolong jembatan
—dan aspal beraroma petaka—
di kehidupan ini mereka terlunta mencari sebuah kepastian
tentang hidup. Bagaimana dengan reinkarnasi?

yohana, maafkan. kau dimataku bermetamorfosa manusia
rakus. Mirip orang-orang yang berkursi di parlemen.
koruptor picik di setiap sudut kota memasuki liang-liang
zaman yang bau mesum, membuatku lupa pada parasmu yang
selegit bidadari. Oi, sepasang tanduk berduri di kepalamu.
Merah mati.

Yohana, aku lupa pernah ingat padamu sebagai entah
Hanya menjelma asap rokok dan empat ribu racun
Di sudut-sudut tempat umum
Yang tak pernah kau ketahui etika menghargai orang lain
Ketika fatwa telah mengikat demi peraturan dan kemakmuran
Kau berteriak menentang dengan alasan HAM dan tetek-bengek lainnya

Yohana. Mengapa namamu terus lekat di lidahku
Seperti rasa asam yang ingin segera kumuntahkan, aku kehilangan kosakata.
Apa kau masih ingat orang-orang meneriakkan sumpah pemuda?
Melantangkan suara untuk kata merdeka?
Mengheningkan cipta setiap upacara bendera?
Munafik. Hiprokit.

Terus saja membual dalam suratmu, Yohana
Aku telah menyiapkan sebilah belati
Untuk melukai matamu berdarah
Dan mengakhiri tragedi percintaan kita.


La Ode Gusman Nasiru, puisi-puisinya pernah dimuat dalam kumpulan puisi bersama Pagi yang Mendaki Langit dan Dua Sisi Mata Cinta. Beberapa puisi dan cerpennya juga dimuat di media massa antara lain, Dinamika (Bandar Lampung), Kendari Pos (Kendari), Tabloid Investigasi Timur Merdeka (Kendari), kolom Budaya Fajar Online, dan Tabloid Oase (Unhalu, Kendari). Cerpennya yang berjudul “Merah Hujan Senja” menjadi Juara I Sayembara Cerpen Antinarkoba Provinsi Sulawesi Tenggara dan sempat menjuarai beberapa lomba cipta puisi. Lahir di Bau-Bau 18 Juni 1989, dan saat ini sedang menempuh pendidikan di S1 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara. Saat ini saya beralamat di Jln. Bunga Matahari 1, Lr.1, No.1, Kelurahan Lahundape, Kendari Barat, Kendari, Sulawesi Tenggara.
 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar