Mencari Rumah dalam Peta Zaman
i/
jalanan berkerikil yang mengarah ke rumah
tidak lagi kutemukan pada peta yang berdebu
warnawarni di dalam peta
telah kelabu
disebabkan pergantian pembangunan baru
ii/
kupacui jarak peta kembara
menembus puluhan kilometer kotakota rumah toko
merasuki ratusan namanama jalan
menjejali setiap lorong yang ditunjukkan mata angin
mencari perladangan penduduk
yang konon mau menampung pengembara waktu
seapa adanya dengan perjamuan
perjamuan ikhlas
(dan tak ingin kusiasiakan bara yang memerah di dada
meski pada akhirnya ia hanya menyisah abuk)
perempuanku
seperti kau ceritakan dalam igaumu
semalam
juga malam tempo lalu
belum kutemukan pula rumah tenteram
iii/
debu
kawani aku
berlagu melayari waktu
meski telah tiba sendu
debu
kemari
denganku
kita mencari
yang mengantar kau ke tubuh ini
yang mengantar aku ke negeri buta ini
Kendari, 2007
Aku ingin menjengukmu
aku ingin menjengukmu
lewat layang surat, sms,atau email
hendak kusapa tirisan hatimu
yang senantiasa gebalau, berontak
di waktu lalu, di huma ladang-ladang kecil
aku ingin menjengukmu
tetapi hanya sesaat saja
kita bercengkarama dengan irisan hati kita masing-masing
lalu melahirkan anak-anak puisi diatas tanah lembab
di kepalamu kasmaran menjarakkan kita
di rahim-rahim pikiranmu aku terpekur.
sebab aroma perjalanan ini
masih ingin kuhirup sedalamnya lagi.
Uepai, feb 2009
Aku di Sini Berdiam
aku di sini berdiam,
lalu kau pun terlintas di nganga jendela
mengucap salam malam,
salam pertautan, kesendirian
aku masih di sini saja, menggaram
kembali kau pun kandas di karang karang waktu
merobek jaring jaring agenda hari
dengan aduhan kesukaanmu
dengan tikaman peribahasa
juga tak luputkan raung raung nada alam
yang biasa kau nyanyikan saat ke pantai
lagi lagi aku menggaram disini
lalu lafaz kesunyianku di hari terakhir kita
hendak pamit, menanggalkanmu
mengeja-eja kata
perpisahan musim tiba.
Bandaeha, april 2009
Lampu (2)
jalankan dimer
nyalakan par
siram lagi backlight border
berangsurangsur
sutradara yang senantiasa getir
suaranya menggelegar
dari walky talky yang tergeletak di meja kontrol
ia mencemaskan setiap peristiwa adegan
serupa merisaukan dirinya dengan penonton
serupa penonton adalah raja di masa depan
dan lampulampu
hanyalah budak
dan para penyaji panggung
laiknya bidak
GKJ, 2005
Lampu (3)
berkesudahan tepuk tangan terakhir
pemburu hiburan pun bubar
penjaga kontrol lampu, lalu terpekur
di traptrap berwarna pudar
pulas tertidur
barusan saja dadanya berdebar
melesatkan cahaya pendar
cahaya lampu par
mengejar jalan lakonlakon satir
dari kisah hidup yang senantiasa menyamar
lampu yang sesekali datang membunuh dalam mimpi
tibatiba menikamkan sinar abyad
ke mata
ke jasad
ke belahan dada perempuan
para pemburu hiburan
paginya
ia terjaga dari dunianya
yang absurd
GKJ, 2005
Sajak Randawulaa kepada Anawulaa
Anawulaa, semata kepadamu maka ranggasan rindu kukirim
mengenangmu bersepi saat kelam di puncak abadi
mengenangmu berjumpa saat bulan temaram jatuh
di bibir dermaga Mekongga.
Adakah kau mengenangnya juga, tentang bulan pecah waktu itu?
Kolaka, Juli 2007
Sajak Anawulaa kepada Randawulaa
Randawulaa, masih tertoreh di sukmaku
oleh bulan kita pun luruh
melarung berpekan-pekan
Tuturkanlah kepadaku
tentang ranggasan kalbumu yang lain
ketika aku terlukis dalam bayang-bayang maya kelam
ketika aku meringis karena isyarat palung matamu di dermaga
Kolaka, Juli 2007
Ketika Ama Turun Ke Laut
Kalau saja perahu Ama ke dermaga,
karena pecahan ombak mengantarnya
adakah juga angin laut bermurah hati membawa
kesepian Ina, kerinduan kami kepada Ama
Kalau saja sobekan jala dan jaring Ama
ke pesisir, karena gelombang pasang surut mengantarnya
adakah juga asap dupa pengharapan,
sudi membawadoa-doa kami kepada Ama
bersama angin dan buih-buih ombak.
Kendari, 2004
Jadi guru
Sejam yang lalu
Aku mencari cinta
Di desah nafas kota
Di kaki langit menjadi gurumu
Sejam yang lalu
Gurau gurun menghampar duka
Aku menjadi luka
Dan kau tarik picu
Di kepalaku
Kau selip gramatika
Sejam berlalu
Kau merefleks di bahuku
Berpeluh panjati setiap meditasiku
aku lalu tembakkan peluru cinta
di kaki langit dan kau menjadi guruku.
Kendari. 30 agust. 2002
Kepada Teman Udin
Di pedalaman keindahan
Guraumu
Tak kecut
Tak surut
Tantang selaksa bisu melecut
Sehari kunginap di ruangmu
Penuh dendam kau tampar takutmu
Dan hatimu remuk tertimbun
kata-kata hatimu yang rimbun
Ayo … teman
Santai saja menepis lara dengan kata
Jangan enggan
sederhana saja bermain kata
di dalam riuh rumpun pujangga.
Sebab
Kan segera tiba anugrah pualam
Untuk kita toreh nama
Sebesar harapan mereka
Kendari. 31 agust. 2002.
Iwan Konawe – nama pena dari Iwan Comcom dan Irawan Tinggoa, lahir di kendari, Oktober 1980. Awalnya belajar seni sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1999. Beberapa kali mengikuti Pameran bersama di Taman Budaya Kendari, Pameran Tunggal Instalasi “Topeng Indonesia” di Taman Budaya Kendari (2000). Bersama Teater Sendiri, telah melakukan pertunjukan teater di Kendari, Banjarmasin, Bali, Mataram, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Menjadi penata cahaya dan artistik di berbagai sanggar teater dan berbagai even di kota-kota Sulawesi Tenggara. Mengikuti kegiatan Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV di Takalar 2004 dan Temu Teater Kawasan Timur Indonesia (Katimuri). Puisinya terkumpul pada beberapa antologi bersama yaitu Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, dan Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga. Puisinya yang lain dimuat di Kendari Pos dan majalah Gong Yogyakarta. Tahun 2005 mengikuti program Magang Nusantara Yayasan Kelola di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar