Rabu, 10 November 2010

IWAN KONAWE


Mencari Rumah dalam Peta Zaman

i/
jalanan berkerikil yang mengarah ke rumah
tidak lagi kutemukan pada peta yang berdebu
warnawarni di dalam peta
telah kelabu

disebabkan pergantian pembangunan baru

ii/
kupacui jarak peta kembara
menembus puluhan kilometer kotakota rumah toko
merasuki ratusan namanama jalan
menjejali setiap lorong yang ditunjukkan mata angin
mencari perladangan penduduk
yang konon mau menampung pengembara waktu
seapa adanya dengan perjamuan
perjamuan  ikhlas

(dan tak ingin kusiasiakan bara yang memerah di dada
meski pada akhirnya ia hanya menyisah abuk)

perempuanku
seperti kau ceritakan dalam igaumu
semalam
juga malam tempo lalu

belum kutemukan pula rumah tenteram
iii/
debu
kawani aku
berlagu melayari waktu
meski telah tiba sendu

debu
kemari
denganku
kita mencari
yang mengantar kau ke tubuh ini
yang mengantar aku ke negeri buta ini

Kendari, 2007


Aku ingin menjengukmu

aku ingin menjengukmu
lewat layang surat, sms,atau email
hendak kusapa tirisan hatimu
yang  senantiasa gebalau, berontak
di waktu lalu, di huma ladang-ladang kecil

aku ingin menjengukmu
tetapi hanya sesaat saja
kita bercengkarama dengan irisan hati kita masing-masing
lalu melahirkan anak-anak puisi diatas tanah lembab

di kepalamu kasmaran menjarakkan kita
di rahim-rahim pikiranmu aku terpekur.

sebab aroma perjalanan ini
masih ingin kuhirup sedalamnya lagi.

Uepai, feb 2009

Aku di Sini Berdiam

aku di sini berdiam,
lalu kau pun terlintas di nganga jendela
mengucap salam malam,
salam pertautan, kesendirian

aku masih di sini saja, menggaram
kembali kau pun kandas di karang karang waktu
merobek  jaring jaring agenda hari
dengan aduhan kesukaanmu
dengan tikaman peribahasa
juga tak luputkan raung raung nada alam
yang biasa kau nyanyikan saat ke pantai

lagi lagi aku menggaram disini
lalu lafaz kesunyianku di hari terakhir kita
hendak pamit, menanggalkanmu
mengeja-eja kata
perpisahan musim tiba.

Bandaeha,  april 2009


Lampu (2)

jalankan dimer
nyalakan par
siram lagi backlight border
berangsurangsur

sutradara yang senantiasa getir
suaranya menggelegar
dari walky talky yang tergeletak di meja kontrol

ia mencemaskan setiap peristiwa adegan
serupa merisaukan dirinya dengan penonton

serupa penonton adalah raja di masa depan
dan lampulampu
hanyalah budak
dan para penyaji panggung
laiknya bidak

GKJ, 2005


Lampu (3)

berkesudahan tepuk tangan terakhir
pemburu hiburan pun bubar
penjaga kontrol lampu, lalu terpekur
di traptrap berwarna pudar
pulas tertidur

barusan saja dadanya berdebar
melesatkan  cahaya pendar
cahaya lampu par
mengejar  jalan lakonlakon satir
dari kisah hidup yang senantiasa menyamar

lampu yang sesekali datang membunuh dalam mimpi
tibatiba menikamkan sinar abyad
ke mata
ke jasad
ke belahan dada perempuan
para pemburu hiburan

paginya
ia terjaga dari dunianya
yang absurd

GKJ, 2005


Sajak Randawulaa kepada Anawulaa

Anawulaa, semata kepadamu maka ranggasan rindu kukirim
mengenangmu bersepi saat kelam di puncak abadi
mengenangmu berjumpa saat bulan temaram jatuh
di bibir dermaga Mekongga.

Adakah kau mengenangnya juga, tentang bulan pecah waktu itu?

Kolaka,  Juli 2007


Sajak Anawulaa kepada Randawulaa

Randawulaa, masih tertoreh di sukmaku
oleh bulan kita pun luruh
melarung berpekan-pekan

Tuturkanlah kepadaku
tentang ranggasan kalbumu yang lain
ketika aku terlukis dalam bayang-bayang maya kelam
ketika aku meringis karena isyarat palung matamu di dermaga

Kolaka, Juli 2007


Ketika Ama Turun Ke Laut

Kalau saja perahu Ama ke dermaga,
karena pecahan ombak mengantarnya
adakah juga angin laut bermurah hati membawa 
kesepian Ina, kerinduan kami kepada Ama

Kalau saja sobekan jala dan jaring Ama
ke pesisir, karena gelombang pasang surut mengantarnya
adakah juga asap dupa pengharapan,
sudi membawadoa-doa kami kepada Ama
bersama angin dan buih-buih ombak.

Kendari, 2004


Jadi guru
           
Sejam yang lalu
Aku mencari cinta
Di desah nafas kota
Di kaki langit menjadi gurumu

Sejam yang lalu
Gurau gurun menghampar duka
Aku menjadi luka
Dan kau tarik picu
Di kepalaku
Kau selip gramatika

Sejam berlalu
Kau merefleks di bahuku
Berpeluh panjati setiap meditasiku
aku lalu tembakkan peluru cinta
di kaki langit dan kau menjadi guruku.

Kendari. 30 agust. 2002

Kepada Teman Udin

Di pedalaman keindahan
Guraumu
Tak kecut
Tak surut
Tantang selaksa bisu melecut

Sehari kunginap di ruangmu
Penuh dendam kau tampar takutmu
Dan hatimu remuk  tertimbun
kata-kata hatimu yang rimbun

Ayo … teman
Santai saja menepis lara dengan kata
Jangan enggan
sederhana saja bermain kata
di dalam riuh rumpun pujangga.
Sebab
Kan segera tiba anugrah pualam
Untuk kita toreh nama
Sebesar harapan mereka

Kendari. 31 agust. 2002.


Iwan Konawe – nama pena dari Iwan Comcom dan Irawan Tinggoa, lahir di kendari, Oktober 1980. Awalnya belajar seni sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1999. Beberapa kali mengikuti Pameran bersama di Taman Budaya Kendari, Pameran Tunggal Instalasi “Topeng Indonesia” di Taman Budaya Kendari (2000). Bersama Teater Sendiri, telah melakukan pertunjukan teater di Kendari, Banjarmasin, Bali, Mataram, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Menjadi penata cahaya dan artistik di berbagai sanggar teater dan berbagai even di kota-kota Sulawesi Tenggara. Mengikuti kegiatan Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV di Takalar 2004 dan Temu Teater Kawasan Timur Indonesia (Katimuri). Puisinya terkumpul pada beberapa antologi bersama yaitu Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, dan Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga. Puisinya yang lain dimuat di Kendari Pos dan majalah Gong Yogyakarta. Tahun 2005 mengikuti program Magang Nusantara Yayasan Kelola di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar