Senin, 29 November 2010

Sastra Kendari


Syaifuddin Gani

Pintu Kesilaman
Sastra Kendari sudah lebih maju dari segi kuantitas, juga kualitas dibanding ketika pertama kali saya mengenalnya sejak tahun 1997 ketika tiba di Kendari. Selain soal karya, kemajuan itu juga sangat nyata pada orang atau penulis yang melahirkan karya itu. Dan mereka, para generasi terkini itu, berusia muda dan menampakkan semangat mencipta dengan penuh kegembiraan.
Saya tiba di Kendari tahun 1997 lalu masuk di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unhalu, dan kemudian tahun 1998 bergabung dengan Teater Sendiri (TS). Di sanggar inilah saya membaca antologi puisi Dengung karya para penyair Kendari saat itu, antara lain Achmad Zain, Ahid Hidayat, Munawar Jibran, L.M Saleh Hanan, Arrasyidi Budiman, La Ode Djagur Bolu, Edy Zul, dan Jusdiman. Di kemudian hari, hanya beberapa orang saja yang intens menulis dan mengikuti perkembangan puisi tanah air. Di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, saya membaca Majalah Semiotika yang di dalamnya terdapat puisi-puisi Saleh Hanan, Asidin La Hoga, dan Iwan Jibran.
Sastra Kendari di masa silam, adalah bagian dari upaya untuk meletakkan pondasi bagi kesusastraan Kendari selanjutnya. Bagi saya, hal itu patut disyukuri karena telah memperkenalkan bacaan awal yang terus mendorong untuk mencari bacaan lain. Akan tetapi, Dengung tidak mendengung sampai di luar Kendari.
Saya sendiri, kemudian berproses dalam bidang teater dan sastra di TS bersama banyak teman yang lain. Di sanggar ini, Kak Stone (Achmad Zain) adalah seorang motivator bagi kurang lebih dua puluh anggotanya. Posisi Kak Stone dalam pandangan saya bukan pada korektor atau kritikus bagi proses penulisan sastra bagi anggota-anggotanya, tetapi lebih sebagai mesin pendorong kreativitas yang tak lelah-lelah menyuruh bahkan memaksa menulis. Di dalam proses yang bertahun-tahun inilah, Kak Stone berhasil menanamkan budaya tulis di kalangan anggota TS. Tulisan-tulisan awal saya dalam proses ini, masih tersimpan sampai sekarang.
Salah satu kendala yang dihadapi saat itu adalah tiadanya hubungan dengan dunia luar dalam arti yang luas. Dunia luar yang saya maksud adalah persinggungan dengan penyair atau sastrawan Indonesia, media sastra (harian dan majalah sastra), komunikasi dengan pengamat sastra. Jadinya, sastra yang saya alami saat itu, hidup di dalam lingkungannya sendiri yang tidak lapang. Hal ini berakibat pada, kita tidak pernah tahu sejauh mana pencapaian estetik atas karya sastra yang diciptakan. Akan tetapi, di tengah situasi seperti ini, proses dan semangat menulis, intens dilakukan, tak terbendung.
Proses dan hasil penulisan yang dilakukan pun lebih banyak dibaca oleh teman-teman sendiri. Akan tetapi, pintu cakrawala itu sedikit demi sedikit terbuka dengan diadakannya Prosesi Seni Malam Jumat (Proselamat) yang berlangsung beberapa tahun. Di Proselamat, karya-karya yang ditulis di TS dan juga karya-karya penulis-penulis lain yang giat di komunitasnya juga, menampilkan karya di hadapan banyak orang. Proselamat, bagi saya adalah salah satu arena pemasyarakatan sekaligus penggemblengan karya di internal Kendari. Karena di momen inilah, beragam karya (sastra, teater, tari, musik) dipentaskan dan dikritisi. Kegiatan bulanan ini sudah berhenti.
Proses yang kami alami di TS itu dalam pengalaman saya, turut juga diikuti dan diapresiasi oleh Ahid Hidayat, yang sering menjadi teman dalam membahas karya yang kami tulis. Sementara itu, Irianto Ibrahim, yang segenarisi dengan Abd. Razak Abadi dan Dhidit Marsel, kemudian hari, lebih banyak aktif di kampus bersama para mahasiswa di dalam menggeluti sastra. Sehingga lahirlah beberapa perkumpulan sastra yang dibuatnya, misalnya Eksis. Pada akhirnya, membentuk Komunitas Arus sampai sekarang. Abd. Razak Abadi, selain menulis sastra, juga berteater bersama TAM dan Didit Marshel lebih memilih teater sebagai lahan kreatifnya.


Pintu Kekinian
            Proses penulisan yang dilakukan di Kendari, di tengah-tengah ketertutupan dengan dunia luar itu, terkuak pintunya pada sekitar tahun 2000-an sampai sekarang. Karya-karya yang ditulis, cerpen atau puisi, diapresiasi dengan baik oleh sesama sastrawan di luar Kendari. Menulis cerpen dan puisi di tahun-tahun awal itu tidaklah sia-sia. Puisi dan cerpen mulai dimuat di berbagai majalah sastra dan harian yang memuat sastra hari Minggu.
            Sastrawan muda yang karya-karyanya termuat itu seperti Sendri Yakti, Irianto Ibrahim, Iwan Konawe, Galih, Abd. Razak Abadi, dan La Ode Gusman Nasiru. Salah satu penyebab teraksesnya karya-karya mereka adalah karena tradisi membaca sastra mutakhir yang kuat, komunikasi dengan sastrawan luar Kendari, memanfaatkan media internet untuk membaca karya sastra mutakhir, serta mengikuti wacana, fenomena, isu, dan politik sastra Indonesia terkini. Selain itu, tentunya adalah karya-karya sastra mereka sudah layak untuk dipublikasikan.
Hubungan dengan dunia luar itu menjadi sangat terbuka dan akhirnya tidak ada pintu penutup dengan kamar-kamar sastra lain itu. Sastra Kendari dan sastra daerah lain menjadi sebuah rumah sastra, rumah sastra Indonesia. Pintu-pintu itu mulai terbuka dengan hadirnya rombongan sastrawan SBSB (Siswa Bertanya Sastrawan Berbicara) di beberapa sekolah di Sultra, yang diprogramkan oleh majalah Horison didukung Ford Foundation, tahun 2003. Lalu tahun-tahun berikutnya, banyak sastrawan ternama Indonesia hadir di Kendari, yang diundang oleh antara lain Kantor Bahasa Prov. Sultra, Prodi Bahasa dan Sastra Unhalu, dan kemudian singgah menemui komunitas sastra Kendari, antara lain di Komunitas Arus dan Teater Sendiri, yang lalu dimanfaatkan untuk diskusi intensif dan membuka jaringan. Hal ini, disadari atau tidak, turut membentuk dan menyokong majunya sastra Kendari.
Selain nama-nama yang saya sebut sebelumnya di atas, lahir pula penyair dengan usia lebih muda yang melakukan proses penulisan di berbagai komunitas, salah satunya adalah Komunitas Arus. Sanggar yang dibina oleh penyair Irianto Ibrahim ini, juga punya proses menulis di kalangan anggotanya, hingga melahirkan penulis-penulis berbakat. Di genre sastra pop, hadir Krisni Dinamita dengan novelnya Cintai Aku Sekali Lagi dan Arham Kendari dengan bukunya Jakarta Under Kompor dan Dumba-dumba Gleter.
Harian Kendari Pos pernah membuka rubrik Sastra & Budaya yang memuat selain sastrawan luar Kendari, juga dan terutama memuat karya sastra penulis Kendari, setiap hari Sabtu. Saya dan Ahid Hidayat, secara “tidak formal” menjadi penjaga rubriknya. Selain dari luar, banyak penulis Kendari, terutama yang berstatus mahasiwa mengirim karyanya. Hal ini memperlihatkan bahwa kepenulisan di kalangan mahasiwa itu sangat bagus dan perlu ditunjang oleh media. Akan tetapi, keberadaan kami di rubrik itu tidak berlangsung lama, dan rubrik itu masih eksis sampai sekarang, meskipun pemuatan karya sastra penulis Kendari tidak seintens dulu.
Penyair-penyair Kendari terkini, mempublibksikan karyanya tidak hanya melalui media-media cetak atau media on line yang dikelola pihak lain, tetapi juga sekaligus membuat blog pribadi, selain facebook, lalu menampangkan karya-karyanya di dalamnya, juga karya sastrawan lain. Dengan demikian, sastrawan Kendari terkini, selain mengikuti perkembangan sastra melalui buku, koran, dan majalah sastra, juga ikut serta terlibat di dalam media internet sebagai medium sastra mutakhir. Artinya, bagi pelaku sastra, baik itu sastrawan, pengamat, atau kritikus sastra, harus melibatkan diri dalam dialektika sastra mutakhir yang terjadi tidak hanya di “darat” tetapi juga di dunia maya. Jika tidak, maka kita akan segera tertinggal dengan cepat.
Sastra Kendari terkini, secara perlahan-lahan, telah menjadi bagian dari sastra Indonesia, meskipun keterlibatan, peranan, atau keberadaanya masih belum terlalu signifikan. Di berbagai antologi puisi bersama telah mencatatkan nama-nama penulis sastra Kendari, antara lain di buku Tanah Pilih (TSI I Jambi), Pedas Lada Pasir Kuarsa-Buku Puisi dan Jalan Menikung ke Bukit Timah-Buku Cerpen (TSI II Bangka Belitung), Percakapan Lingua Franca (TSI III Tanjungpinang), Penyair Menuju Bulan dan Wajah Deportan (Banjarbaru), Rumpun Kita (Malaysia), Bungahati Buat Diah Hadaning (Jakarta), Beranda Senja (Jambi), Penyair Perempuan Indonesia (Jakarta), dan lain-lain. Selain buku di luar Kendari di atas, terdapat pula buku/manuskrip puisi Kendari yang merupakan pondasi seperti Sendiri 1, Sendiri 2, Sendiri 3, Malam Bulan Puisi, Barzanji di Tengah Karang, Yang Tak Pernah Pergi, Tanah Merah Tanah Sorume, Perjalanan, Dari Cinta ke Jembatan Rindu, dan lain-lain.
Keberadaan tokoh-tokoh yang ikut mendorong iklim sastra Kendari adalah, Ahid Hidayat yang intens mengamati serta menulis makalah tentang sastra Kendari sejak pertama kali saya tiba di Kendari. Ahid Hidayat, dalam pengamatan saya, mencoba tekun mempraktikkan tradisi penulisan di Unhalu, meskipun langkahnya kadang dianggap kontroversial. Salah satu langkah nyata keberaksaraan yang dihasilkannya adalah buku puisi Pagi Mendaki Langit yang merupakan puisi mahasiswa mata kuliah Menulis Kreatif. Di sini, banyak karya mahasiswa yang bagus. Ada La Ode Balawa yang turut mengamati sastra Kendari dan terakhir mencoba ikut di dalam mendorong suasana penciptaan yang baik. Iwan Jibran yang sejak mahasiswia menulis puisi dan pernah meraih juara dalam lomba cipta puisi tingkat mahasiswa nasional, ikut memiliki andil di kalangan mahasiswa melalui UK Seni Unhalu. Asidin La Hoga adalah sosok yang sejak mahasiswa menulis puisi dan sampai sekarang memberikan motivasi pelaku-pelaku sastra untuk giat menulis.
Salah satu faset perkembangan sastra Kendari yang sangat berarti adalah diterbitkannya antologi puisi Irianto Ibrahim Buton, Ibu, dan Sekantong Luka oleh Frame Publishing, Yogyakarta. Antologi puisi tunggal ini kemudian diluncurkan dan dibedah di Yogyakarta, Tasikmalaya, dan PDS H.B Jassin, Jakarta, mendapat sambutan yang baik di kota-kota tersebut. Ini adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi sastra Kendari yang memahat tradisi keberaksaraan dan turut memperkenalkan sastra Kendari ke masyarakat sastra Indonesia yang lebih luas.

Pintu Masa Depan
            Sastra Kendari kini maju selangkah. Hopla! Teriak Chairil Anwar. Kita memang harus melompat agar maju dan bisa seiring dengan kota lain, meskipun berat. Sastra Kendari, tidak bisa tidak, harus dibangun dari tradisi tulis yang cukup kuat. Selain tradisi tulis, harus ditopang dengan tradisi membaca, tradisi diskusi atau sharing, tradisi berguru, dan tradisi bertualang.  Jika tidak mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir, Kendari akan mundur dan terpuruk.
Kehadiran sastra Kendari, sebagaimana di daerah lain, adalah suatu kenyataan betapa Jakarta bukan lagi Pusat Sastra. Kota-kota yang tersebar di Indonesia membangun dirinya sendiri menjadi pusat yang baru. Kata Emha, setiap penyair membangun kursinya sendiri. Akan tetapi, membangun diri sendiri, butuh “kemandirian” dan kemauan kuat agar bisa dikenal sebagai Kota Sastra.
Seperti apakah sastra Kendari masa depan? Jawabnya sangat musykil. Akan tetapi bisa kita raba dengan menengok sastra masa lalu dan melihat sastra hari ini. Jawabnya bisa tiga: mundur, jalan di tempat, dan lebih maju! Tergantung pada “gantungannya”. Dan gantungan itu ada pada kita semua. 


BTN Puri Tawang Alun 2 
Rabu, 24 November 2010


Materi ini dipaparkan pada diskusi Sastra Kendari: Masa Silam, Masa Kini, dan  Masa Depan di Teater Sendiri, Ahad, 28-11-2010

Rabu, 24 November 2010

AHID HIDAYAT


Asiwung*)
  
itu bulan
bulat sempurna
piring perak
terapung di angkasa

“kekasih, joloklah
tak ada galah
asiwung pun jadilah”
katamu sambil tengadah

aku termenung
“mengapa kau bawa asiwung,
bukankah bilahan bambu itu
pasangan kain kafanku?”


*) sebilah bambu pengukur panjang mayat


Monolog Rama

(ketika malam dipirig rerintik hujan)

Istriku,
katakan kepada mereka, manusia
aku berperang di medan laga
sama sekali bukan kerna gengsi
akan kesucianmu aku tak sangsi

(petir menggelegar, tiba-tiba)

Istriku,
bahkan cinta pun harus bersujud
pada singgasana

(gerimis itu menjadi hening)



Menisik Jaring
  
Di bawah terik
Jaring kutisik
Jaring nasib yang terkoyak
Sebab waktu yang menghentak

Selepas senja tak merah
Dengan bilah dayung rapuh
Katinting kecil kukayuh
Melaut ke arah entah

Pada malam bergemawan
Kulempar jala, doa-doa dan harapan
Di sekitar teluk, di ujung palung
Kawan-kawanku melempar pancing
Dengan umpan irisan hati dan jantung
Dari tubuh masing-masing

Ketika angin mulai membasah
Sejenak kami mengusir lelah resah
Menyusuri palung waktu dan mereka-reka cerita
Seekor ikan dewata menjelma intan permata

Di hening subuh
Kami berlabuh
Meski apa yang terjaring hanya
Angin dan dera dingin semata



Molulo di Kelam Malam

Di sini, malam-malam kelam
adalah gairah. Dua tangan saling genggam
jemari kasarku hanyut menyelusup
di sela halus jemarimu erat mengatup
tangan bergoyang naik-turun dalam gerak ritmis
tak peduli pada gerimis dan waktu yang teriris
musik menghentak mengencangkan detak
kaki-kaki melangkah serempak ke kanan dan ke kiri
diayun ke depan dan ke belakang sesekali
maka lingkaran pun berputar melawan arah jam
mengekalkan gerak menjadi diam

Di sini, malam-malam sunyi
adalah keriuhan. Tetabuhan gong telah berganti
dengan keyboard yang melimpahkan aneka bunyi
dilontarkan sound system hingga malam jadi hingar
walau barangkali di matamu, wahai penyanyi, binar
telah lenyap di balik hatimu yang teramat senyap
sebab irama mesti tetap terjaga, tak peduli nada ria
atau lagu sendu, bukankah melodi mesti mengabdi
pada irama ayunan kaki. Di sini

Malam-malam molulo
Malam-malam intermezo.



Masjid Tua Wawotobi

tiada lagi tikar terhampar
sajadah pun telah dipindah
dari masjid tua itu

segenap pintu ditutup rapat
atap seng penuh karat
noktah pada kaca
yang tertinggal di sana

para pendaras Quran
para tetamu Tuhan
barangkali sedang berdzikir
di kilau marmar
yang lebih binar

hanya debu-debu suci
berwirid di lantai dingin sunyi

dari mihrab sempit
tali-tali cahaya terentang
: bermarifat menopang
keluasan langit



Bintang

malam menawarkan berjuta bintang
di kancah langit meluas pandang
cakrawala mendekap bumi tidur lelap
semesta menyapa begitu ramah
gelandangan dan jelata tanpa rumah
siang menampakkan sebuah bintang
di pundak bajumu, cuma satu, tanpa cerlang
engkau tegak berjalan, membusung dada
memandang tajam ke depan, tiada sapa hangat
bagi pesuruh yang mengangguk hormat
dan tergesa membuka pintu buat kau lewat


Surat Kemarau 1

kita memerah airmata kemarau
yang kian mengental, menggumpal
ladang waktu kita olah berdua
menanam bunga menanam cinta
“di mana gerangan benih?”
katamu
kekasih,
di tebing nurani kita
benih berakar bertunas

Surat Kemarau 2

kita menebar beragam benih
bermacam bunga, butiran cinta yang putih
tapi dengan apakah ladang waktu disiram
sedang airmata tinggal setetes dipendam
“betapa gersang leladang,”
katamu
moga-moga, kekasih
malam ini gerimis merintik
terbawa angin kemarau

Leladang Kerontang

kita terus mengolah ladang kerontang dari pagi
hingga petang bekerja tak henti-henti
meski terik matahari mendera jiwa dan raga
memanggang semaian kenang
kita terus menabur butiran harap
pada galur demi galur dan menyiram tunas-tunas
kehidupan dengan tetes demi tetes airmata
tetes-tetes darah putih darah merah
kita pun menunggu waktu dalam terpaan derita
sampai masa panen tiba
seperti bebongkah tanah yang kian kering meretak
kita semakin keriput dan pucat menjelma mayat
lewat bulan demi bulan sampai rambut penuh uban
sampai asing haus lapar, kita lemas terperangah
sebab hanya alang-alang
menutup hamparan leladang


Di Selat Cempedak

di selat cempedak
laut bergolak
kesiur angin timur yang kalut
bersekutu dengan kabut
mengirim bebayang maut
gemuruh bising mesin kapal
adalah derap kaki penjagal
memberi kabar kunjungan ajal
di selat cempedak
maut menetak


Dalam Perih

sepenggal duka
dari harmonika
sehampar garang
dari puncak siang
memerangkap sukma
dalam perih-luka
mahasempurna

april 2007


Di Luar Dekap

di emper kedai
seorang anak lelap
ketika malam lunglai
di luar dekap
bantal kumal kelabu
mengantarkan mimpi
lezat sepotong rindu
yang ingin sekali kubeli

april 2007


Tanpa Kata

adalah kata
tali pengikat paling menjerat
karena kata
kujunjung kau sebagai sahabat
kupancung kau bedebah khianat
dengan kata
dua gugus cinta menyatu rapat
dua lempeng benci berkarat
tanpa kata
aku dikubur sunyi liang lahat


Ahid Hidayat, lahir di Majalengka, Jawa Barat, 30 Agustus 1967. Mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Haluoleo sejak 1993. Sering menyajikan makalah pada seminar/pertemuan ilmiah, antara lain: Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia V di Bogor, 1992, Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia XII di Pusat Bahasa, Jakarta, 1999, Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana- kesusastraan Indonesia XV di Yogyakarta, dan Kongres Internasional Bahasa Indonesia di Jakarta, 2008.  Artikel penelitiannya antara lain dimuat dalam buku Sastra Masuk Sekolah suntingan Riris K. Toha-Sarumpaet (IndonesiaTera, 2002), Cakrawala Karya yang disuntingnya bersama Nikolaus Pasassung (Penerbit FKIP Unhalu, 2006), dan Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda, Sejumlah Telaah (Penerbit FKIP Unhalu, 2009). Menulis puisi dan cerpen, di samping menerjemahkan cerpen dan menulis artikel, yang telah dimuat di sejumlah media cetak (Bandung Pos, Fajar, Galamedia, Gong, Horison, Kendari Pos, Mandala, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Republika). Pernah menjadi juri tahap II Khatulistiwa Literary Award (2005), sebuah penghargaan buku sastra terbaik tingkat nasional. Bersama Syaifuddin Gani menyunting kumpulan puisi Pagi yang Mendaki Langit.

Kamis, 18 November 2010

WA ODE RIZKI ADI PUTRI


Diamnya Maut

kau memanggil matahari
sedangkan waktu baru saja beringsut
melarutkan sunyi dalam malam-malam hampa

memenjarakan  suara-suara yang kau cari
dalam diamnya maut
setelah satu nafas berhenti kau hela
                                                                                   
Kendari,  17 April 2008


Rahasia Tentang Matahari

kudapati senja pupus di barat
lalu kutitip rahasia tentang matahari pada matamu
yang berkilat-kilat menatap lembayung merah pudar itu
kau harus menjaganya entah bagaimana
hingga sampai pada  suatu malam
di mana bulan bersinar penuh
untuk kali keseribu

kupandangi sebentar wajahmu
ada geliat tak mengerti
”gadis, biarkan malam menjemputmu pada mimpi.
karena mimpi akan menerjemahkan isyarat ini,
menyelesaikan yang tak kuceritakan”

kau mengangguk saja
entah apa
ah, sudahlah
aku tak ingin lagi bicara

Kendari, 3-9 april 2008


Ini Tentang Ibuku

dari lesung pipinya yang samar
aku membaca lirik-lirik lagu cinta yang nyata

pada langit aku meminta pelangi
agar tak ada lagi hari kusam setelah hujan

tak kubiarkan potret wajahnya muram
karena cerita-cerita bohongku

ibu
temani aku lebih lama dari kemarin

kita akan
menghitung helai angin
yang menyapu bunga-bunga di halaman rumah

Kampus, 14 April 2008


Elegi Sebuah Rindu
Kawanku: Emma

dan matahari pun  merenangi gerimis
kalau boleh biarkan kupaku pelangi
agar lekat di jendela kamarmu
kuterka kau akan tertawa

benar saja
lalu kurasakan nafasmu mengoyak lembaran angin
menguapkan berbutir luka kaku
mendung pun pecah menjadi rintik paling senyap

ada yang bergumam di bening matamu
mungkin tanya yang tak terucap
tentang adanya ilalang merunduk
dan terlepasnya rindu pada ibu

lengkung senyummu
selalu saja bulatkan bianglala paling sempurna
kalau boleh biarkan kupahat namamu
pada merah puncak pelangi yang rona

Kamar, 17 November 2008


Matahari Tak Pernah Sendiri

cahaya matahari menembus pepohonan
menceritakan kisah sedihnya, menerangi senja sendirian
angin berhembus menyapu rimbunnya dahan
daun-daun pun berguguran tanpa alasan
di antara waktu yang kian memburu
dan pekat yang semakin merapat
sejenak membisu
namun angin memaksa pepohonan untuk mengungkap sesuatu
riuh pepohonan yang diterpa angin pun berkata,
terimakasih untuk sinarmu kemarin dan hari ini, wahai matahari
senja kembali hening
sedang angin kembali mengembara dan berkeliling
memaksa gunung, pasir , dan rumput
untuk mengungkap hal yang sama
sejak itu senja terasa lebih indah
sejak itu matahari tahu, ia tak pernah sendirian


Sebuah Kata

waktu itu kita berselisih arah
kau ke selatan
dan aku ke utara
aku memanggilmu, tuk beriringan denganku
tapi kau terlanjur berlalu
meninggalkan jejak di aspal yang berdebu
suaraku tercekat
aku tahu ajal kian mendekat
sedangkan aku belum sempat berucap
sebuah kata untuk kau kenang
aku berbalik arah, mengejarmu
namun kau telah menghilang
di persimpangan itu
ajal menjemput, aku terkesiap
kata itu belum sempat terucap


Sehampar Karang, Segulung Ombak

barangkali kau belum tahu
mereka tidak akan berkisah
bagaimana lautan memerah
dan bongkah-bongkah lukamu
yang semakin parah oleh waktu

mereka tidak mau tahu
ada apa kemarin
ketika kau mengeluh pada angin
yang merobohkan gubukmu
meniupkan pepasir
terhimpun di atas perih lukamu

barangkali kau belum tahu  
mereka tidak akan bertanya
mengapa badai mengamuk di pantai saja
saat terik matahari menyala
mereka bahkan tertawa
melihat lukamu semakin ternganga


Kepada Ayah

sudahkah kau baca
satu sajak yang kuukir di mega-mega?

tengok satu kali saja
di sana ada narasi tentang kita

kuceritakan hujan menitik tanpa suara
mengikis bait sajakku satu-satu

kubiarkan angin membaca
meski sebenarnya dia buta

ayah

tengok satu kali saja
di sini ada narasi tentang kita

tak perlu lagi mendongak ke mega-mega
kali ini tatap mataku saja


Yang Gugur Dan Yang Tumbuh

yang gugur
kukremasi pada rongga bernama kebencian
pekat menguapkan rindu nan melepuh patah
mengabu bersama utas-utas tawa
entah siapa yang pernah memintalnya

sekaku dayung menggaris kedamaian arus
yang tumbuh
kuserahkan untuk mekar dalam doamu
meliuk tak acuh meski tercekik hembus nafas
para pendosa

yang gugur
likat berbaur debu-debu
yang tumbuh
riang berbalut siang
menunggu sepi menjahit malam

Kamar, 5 februari 2009


Sepotong Sajak

aku pernah melihat ketakutan
pada wajah sepotong sajak yang hendak kubakar
ditingkahi sendu bayangan bulan
tertatih tanpa tongkat pada tepi kusam sebuah kolam
kulengkapi deritanya dengan kisah cinta
yang tercebur comberan

Kendari, 17 februari 2009


Lelaki  Kejora

lelakiku!

sepanjang lajur kesetiaan hari esok
sutra wajahmu tersemai
bersama rerimbun taman
mawar-mawar nanar, menemui kau
lebih tegar waktu mekar

seperti senyuman
garis tepi itu kukenal dari kedalaman obor matamu
tiba-tiba rekat di bibir malam
kala gelap mengendap
mengaburkan  mimpi rerumputan

bulan menulis sajak tentang rasa bosan
lalu kubingkai deras matamu menatap aku
dalam detak jantung musim kemarau, degupnya
padam hujan berserakan
kata  tak pernah cukup sesudahnya

kaulah sketsa,
lahir  dari  jejak  pagi yang pupur
di kaca jendela
arsiran hitam putih menjelma
bebayang nyata seorang adam
merembes  di nadiku
menciptakan labirin, selasar, dan trotoar,
tempat nalarku merambat, bersijingkat,
atau berlari
memburu siluetmu
kejora!

Kendari, 1 Maret 2009


Mekanika Lagu Pulang 
A.M.B.G.

lelaki
perlukah aku belajar dari kelopak bunga  dilarung badai
sejenak bersitahan dengan lirih  doa-doa yang  hanya 
diaminkan satu dua butir pasir

sungguh kau tahu betapa pun
kunikmati  sisa hujan memperparah rindu,
juga  kering  meluruhkan daun-daun, atau rel-rel kereta
memuai sepanjang siang,
lelah ini  terlanjur lelap meniduri lambungku
muak digenangi gairah pedih sesayat asa

hari ini aku melangkahi langit
menjawab panggilan lagu pulang
yang syairnya bahkan kueja dari kepak sayap izrail
sesempatnya kucuri hijau tundra dan sabana untukmu
sebagai latar tempat kenangan tentangku kelak kau lakonkan
kususuri juga mimpi-mimpi kita yang hanya tertambat di nakreus

kalau aku boleh meminta, lelaki
simpan saja ceritamu untuk esok
gemakan ia  ke utara agar aku tak perlu merasakan sepi sejati
letakkanlah senyummu di bawah  arak gemawan
mengiring  perjalananku sesederhana azan subuh tadi

mungkin sebagai pengganti mawar yang kubenci durinya
sematkanlah belasungkawa dari puisi-puisimu yang paling kau hapal
pada nisan putih  jadi pengganti wajahku
setelah ini hanya itu yang dapat kau usap
utas bayanganku segera mengirap ditawan  gelap


Kendari, 8-9 Juli 2009


Pulanglah Ke Dalam Mataku
    L.M. Alhayun Kasim

bapak, pulanglah ke dalam mataku
sebelum magrib menumbuhkan gelap pada jalan-jalan setapak
yang kulalui dalam gendongan lalu tertidur di bahumu
di sana tergelar sejarah
semacam rengekan kanak-kanak, garis muda melekati wajah,
juga sumringah orang-orang dewasa
melirik aku melafal pancasila setengah terbata

adalah baju yang kelabu, topi yang sederhana, tetap setia mengawetkan
masa lalu
persis ketika kau menunggui aku di gerbang sekolah atau suatu sore kita menekuni dialog air laut dan koli-koli menyebrangi teluk kendari 
ah, betapa deru mesin yang dikendalikan papalimbang terlampau senyap dibanding sorak gembiraku menghitung jumlah ombak,
meneriaki kawanan burung tengah istirah di tomba

kemarin aku tertegun mendapati tali pusarku tersimpan baik dalam lemari
mungkin telah menjelma artefak bagimu
sebab hadiah pertama dari bayi mungil hampir dua puluh tahun lalu
takkan pernah kau tukar dengan hening samudera

bapak, kaukah itu yang merentang tangan sepanjang garis edar matahari
menantiku melingkarkan sejengkal lengan anak kecil yang tak pernah cukup membelit pinggangmu
sungguh aku rindu jadi cengeng seperti waktu SD
agar dapat kubenamkan wajah pada penampang perutmu
sekedar menyembunyikan tangis ketika dimarahi mama
atau nilai matematikaku yang dapat merah

dan takdir pun berotasi di ragamu
sisakan rambut putih, gigi tanggal, kulit mengisut yang
belum memaksamu untuk tua
apalagi merangkai cita-cita sahaja
sedang kekeliruan memaknai april sebagai bulan ketiga
hanya setitik alamat bahwa kau mulai pelupa

aku masih menghidupkanmu sebagai lelaki pagi
mengajariku mendaki makna dongeng sebelum tidur
mengirim mimpi ke langit lewat layang-layang
juga merekat mozaik cerita dari lokan-lokan
yang kita pungut sepanjang bokori
sepanjang pulau hari

adakah kini waktu jadi terlampau mahal untuk kita bagi
sekedar menyeruput teh dari cangkir yang sama
atau memecah bisu perjalanan dalam angkot

bapak, pulanglah kedalam hatiku
sebelum gelap benar-benar meracuni langkah
demi rembulan yang menabur aroma malam
aku merindu kau merindukan aku

Kendari, 12 juli 2009


Karena Aku Tak Pulang
— Sahabatku La Ode Gusman Nasiru

ucapkan apa kabar untuk laut yang menghitam
untuk sari-sari aspal lekat merambati lekuk gelombangnya
pernahkah kau perhatikan betapa setia ia menjemput labuhmu?
                             
selamat menjejak ranum tanah itu kembali
yang selalu mengurung kabhanti dan matahari pada dahan-dahan tua pohon asam, kamboja, cemara, juga rerumput halaman Baadia
adakah ia peduli lebat keningmu bau usia duapuluh?

siang ini, akumulasi cerita rindu tamat di Murhum
mungkin peneure di bawah jembatan
mengintipmu mengucap syukur penuh kaca
ah, lepaskanlah bersama kecewamu di situ
karena satu sajak tak jadi kita deklamasi di Kamali

aku tak pulang
sekedar mendongak ke bukit Wantiro atau
tersesat di los-los sempit Laelangi
maka sampaikan saja rinduku pada anak-anak angin
menderukan kenangan masa kecilmu dan kenangan masa remaja kita
o, mereka menumpahkan wangi ombak di otakku

jika kau sempat menyendiri
perhatikan bagaimana gemunung mencuatkan hijau
bagaimana sejarah menjelma cadas
Wolio-Sorawolio
atau Bungi-Betoambari
kekal dalam jarak

Kendari, 18 september 2009


Adha Malam
Sahabatku Gusman

Di Balai Kota
Hujan mengiring takbir ke tepi malam
Seorang gadis mengaminkan doa pucuk-pucuk kelapa

Di Kemaraya
Takbir melengkapi langit
Seorang Pemuda mengenang aroma ibu dan lapa-lapa buatannya

Kendari, 27 November 2009

Wa Ode Rizki Adi Putri lahir di Sodohoa, Kendari, 4 Desember 1989. Saat ini sedang menempuh pendidikan di S1 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara. Beralamat di Jln. Balaikota III No. 64 F, Kendari, Sulawesi Tenggara.  Menyukai dunia kepenulisan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Minat menulisnya semakin terasah ketika mengenyam pendidikan mengah di SMA Negeri 4 Kendari. Menjadi redaksi buletin IQRA dan mengikuti lomba penulisan karya ilmiah remaja tingkat nasional tahun 2006. Puisi-puisinya dimuat dalam antologi bersama Pagi yang Mendaki Langit (Kelas Menulis Kreatif 2009) dan Dua Sisi Mata Cinta (Kumpulan Karya Pemenang dan Peserta Lomba Pekan Sastra Unhalu 2009), harian Kendari Pos, dan Tabloid Oase.