Selasa, 07 Desember 2010

WAKTU YANG DIGANTUNG SANG PENYAIR (1)


Oleh: Hudan Hidayat

Seolah terbaca olehku: dua batu adalah kata ganti untuk dua manusia - manusia yang diibaratkan batu: diam, tak maju lagi sebagai penerus peradaban yang dibunyikan penyair dengan tungku dan daftar harga.... hidup berhenti dan kita pun kembali ke jaman batu lagi.
Dua batu dari dua manusia yang putus harapan seolah batu: statusnya kini diam, menjadi batu, karena harapan ibarat telur tak menetaskan kehidupan, walau kehidupan dibayangkannya juga sebagai bocah yang pernah lahir - mungkin dirinya sendiri, dia yang telah menjadi batu - sebagai batu pasangan dari si batu yang ditunggunya.
Ke sanakah arah puisi ini? Penyair membuat syair dan kita membaca syair. Ke arah inikah kehendak syair ini?

aku menanam batu sepagian
menunggumu membawa tungku
sambil menanak keringat dan doa
dari telunjuk dan daftar harga

Sepagian adalah waktu yang dipakai si aku untuk "menanam batu".

aku menanam batu sepagian, katanya.
menunggumu membawa tungku, katanya.

Jadi bolehlah kita cancel pengertian orang "memasak" di sana, oleh sebab familiarisasi kata telah dilarikan sang penyair dari "memasak" ke "menanam". Jadi rupanya "menanam" itu untuk suatu sebutan "harapan", atau "menunggu" di kata kedua baris kedua itu.
Jadi itu adalah: aku menunggumu sepagian. Tapi aku di sana adalah aku yang menanam batu, jadi alangkah indah untuk penyebutan kata "tunggu" di sini, dari "dia yang ditunggu tak akan datang - harapan itu telah menjadi batu. Bahkan dirinya yang berharap itu juga adalah dirinya dari harapannya yang telah menjadi batu.

aku menanam batu sepagian
sepagian ini tak ada harapanku

Maka kusebut sebagai menyemai batu sajalah harapanku itu.

menunggumu membawa tungku

Tungku untuk menanak nasi untuk keluarga, tapi tak ada nasi selain harapan - keringat dan doa, yang tak juga memutik jadi padi yang bisa dimasak. hanya angan saja: daftar menu dan harga itu. Hanya bisa ditunjuk atau dibayangkan.
Jadi puisi berhenti dalam ketiada harapan dengan simbolik batu - dari dua manusia yang tak lagi ada harapan seperti batu yang diam itu. Siapakah dia yang disapanya? Siapakah aku di puisi ini? Dua batu dari nasib kita ramai ramai ini sebagai batukah? Hidup memang keras dan kenyataan kadang seperti batu: diam, keras, tak menelurkan harapan. Hanya doa dan keringat saja. Orang pergi pagi dan pulang ke rumah tak membawa apa apa.
Di rumah tinggallah manusia seolah batu: diam saja, karena hal seperti itu sudah diketahui sejak mula. negeri batu dan hati manusia seperti batu.
Tapi batu ini bergerak. hidup di dalam kelambu. Dua batu lalu terbaca seolah kelempong: dua biji di burung kita itu. Itukah artinya dari harapan yang kandas?: kini yang tinggal seks sebagai hiburan?

akulah batu berair
yang menyala dalam kelambu
sebelum kunangkunang celah batu
bercerita tentang kubur dan pandir

***
Puisi Adhy Rical
Dua Batu

aku menanam batu sepagian
menunggumu membawa tungku
sambil menanak keringat dan doa
dari telunjuk dan daftar harga

akulah batu berair
yang menyala dalam kelambu
sebelum kunangkunang celah batu
bercerita tentang kubur dan pandir

dua batu malam ini
kau belum tiba
bukankah dulu selalu datang
menghitung tanda lahir tubuhku
: "bocah seperti apa inginmu?"

darahku masih mendidih, sayang
ciuman hangat, desah ranjang
begitu panjang dan jenjang
: sebilah pisau menusuk celah kangkang

Kendari, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar