Selasa, 07 Desember 2010

BUTON, PUISI DAN SEKANTONG LUKA


Oleh Sarabunis Mubarok


Selain aspal, tak banyak orang tahu tentang Buton -salah satu daerah di Sulawesi Tenggara. Buton masa lalu tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni, yang merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Buton yang pernah berjaya sejak abad 15, di masa Buton menjadi wilayah kesultanan yang berlangsung ± 600 tahun, hingga akhirnya menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1959.
            Dan di akhir bulan Juni 2010, tiba-tiba Buton dibicarakan banyak orang pada forum-forum diskusi di Yogyakarta, Tasikmalaya dan Jakarta. Sebuah antologi puisi berjudul Buton, Ibu dan Sekantong Luka yang diterbitkan Frame Publishing, Yogyakarta, membawa suara nyaring namun mengiris hati. Adalah Irianto Ibrahim, seorang penyair muda dari Kendari datang dari masa lalu sejarah leluhurnya dengan membawa sekantong luka, mandat dari seorang ibu yang dadanya bertahun-tahun terhimpit sakit karena suaminya dipukuli, dicambuk, disetrum listrik dihimpit dengan meja hingga akhirnya digantung hidup-hidup di dalam penjara, dan lalu dinyatakan sebagai bunuh diri.
            Puisi “Buton 1969” berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sana. Tahun 1969 Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beseta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI asal buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah G30S PKI. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina.
            Dan puisi berjudul Buton 1969 adalah puisi pembuka antologi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim. Sebuah puisi yang bernafas berat, sentimentil, nestapanya mampu menyilet puisi-puisi yang lainnya, menebar darah yang lebih kental dari luka, lebih sakit dari kenangan.
            Lalu sekantong luka, dititipkan seorang ibu bernama Ainun Kasim, Istri mantan Bupati Buton, Muh. Kasim kepada puisi-puisi Irianto Ibrahim. Puisi berjudul “Sekantong Luka Dari Seorang Ibu” merupakan puisi kedua dalam antologi tersebut. Dan Irianto Ibrahim berhasil menyuguhkan 2 puisi pembuka yang menyayat rasa kemanusiaan pembaca.
            Bagi Irianto Ibrahim, tak hanya doa-doa, tapi bau tubuh seorang ibu adalah imaji lain yang ia bawa selain sekantong luka, ini dilukiskannya dalam puisi “Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa”. Lalu dalam kegelisahan yang membara, kesepian begitu sakral dengan luka yang kian nganga. Hal ini menghembus dari sajak-sajak Irianto Ibrahim yang berjudul “Pertapaan Duka”, “Peminang Sepi”, “Alamat Maut”, “Ibu Tak Pernah Menangis”, “Kesaksian”, dan “Percakapan Maut”.
            Tak perlu alasan apapun bagi Irianto Ibrahim, kenapa ia menuliskan peristiwa Buton 1969 dan segala realitas sosial di sana ke dalam puisi. Tapi justru alasan yang dibuat-buatlah yang memasuki puisi Irianto Ibrahim yang berjudul “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana”. Bagaimana Irianto memuisikan para pendulang emas tradisional Bombana harus pulang dengan dada lapang karena 3 alasan: ancaman, mitos dan doktrin. 3 Alasan ironis yang dibuat-buat untuk memuluskan investor asing mengekplorasi kekayaan Bombana.
            Dalam kegelisahan yang nanar atas realitas sosial yang ada, Irianto Ibrahim mampu menuliskan kemesraan yang ditata apik dalam puisi ”Suatu Ketika di Kamar Kontrakan”. Dalam puisi ada latar belakang sosial yang keras, perebutan tanah, peperangan karena lahan, membaur dalam diksi-diksi yang mengalir lembut. Sebuah kekhusukan menerima hidup apa adanya. Dalam ironi, bersama istri yang dicintainya, menata bisik di sebuah kamar kontrakan, kaulah rumah bagiku/ dan akulah rumah bagimu//.
            Pada proses pengembaraanya, Irianto Ibrahim telah menyatakan dirinya sebagai perahu yang akan mengarungi lautan kepenyairannya. Menjaring ikan-ikan kebijaksanaan, memaknai kedalaman samudera cinta, dan bersama gelombang pasang, puisi-puisinya akan mengasinkan kehidupan. Ini ia tegaskan pada bait terakhir puisi ”Perahu Kanak-kanak” sebagai berikut:
Aku sangat bersungguh-sungguh menjadi perahu. Sebab/ kata ibu, perahulah hidup kami. Dan setiap kutanya pada/ ayah kemana akan ia tambatkan perahu itu saat pulang/ dari mata senja, ia dengan pelan membisikkan di telinga/ mungilku, dihati ibumu, katanya./ /
            53 puisi hadir dalam antologi ”Buton, Ibu dan Sekantong Luka”. Ditulis dalam rentang tahun 2007-2010. Puisi-puisi yang ditulis tahun 2007 dan 2008 menggunakan diksi-diksi yang lebih longgar dan sedikit monoton. Sedang puisi-puisi yang ditulis tahun 2009 dan 2010 ada upaya untuk memperketat metafor dan menjaga benang merah dalam setiap sajaknya. Sebagai sebuah proses, Irianto Ibrahim tak hanya konsen pada tema-tema sosial-lokal, tapi juga berupaya untuk terus menemukan bentuk pengucapan puisinya agar menjadi lebih tajam dan mumpuni.
            Paling tidak antologi ini telah berhasil memotret realitas sosial, korban dan rasa sakitnya. Dengan pengucapan yang lugas dan sederhana, tema besar antologi ini merembes ke hampir semua puisinya, membaur kedalam berbagai wacana, dan menjadikan antologi ”Buton, Ibu dan Sekantong Luka” penting untuk dibaca.(*)

Dikutip dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150237882810587

Tidak ada komentar:

Posting Komentar